Namun rasanya tidak benar, jika dikatakan bahwa dunia pendidikan di republik ini menjadi maju dan semakin baik. Tentu saja hal ini bukanlah sesuatu yang tidak beralasan, sebab pada kenyataannya, justru yang terjadi menunjukkan dengan pasti bahwa dunia pendidikan kita semakin jauh dari ruh konstruktifnya, bahkan selalu saja terkungkung dalam singgasana kehancuran yang tidak seorang pun tahu kapan akan berakhir.
Bayangkan saja, ada begitu banyak jumlah lulusan dari sekolah-sekolah saat sekarang ini yang tersebar di seluruh pelosok nusantara tercinta, yang hanya bisa menjadi "pencari kerja" dari pada pencipta lapangan kerja sendiri.
Banyak pula para alumnus dunia pendidikan kita yang bekerja justru tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan yang telah di pelajarinya. Sehingga mereka pun tidak tahu akan dunia kerja yang dimasukinya. Jangankan kemampuan keahlian, bahkan pengetahuan saja sangatlah pas-pasan.
Pada kenyataannya, hampir setiap siswa lanjutan atas dari perguruan tinggi yang ada, justru tidak memahami bidang keahlian yang dipelajarinya bertahun-tahun. Sehingga ketika mereka berhasil mendapatkan pekerjaan, beberapa banyak dari mereka yang tidak mampu memberikan unjuk kerja yang terbaik serta tidak merasa nyaman dengan pekerjaannya. Alhasil, maka hal ini semakin berdampak pula pada etos kerja dalam skala yang lebih buram (baca: tidak jelas).
Jika dilakukan analisis mendalam tentang realitas dunia pendidikan kita seperti yang digambarkan di atas, maka akan tampak bagaimana suatu dampak pedagogis dalam pelaksanaan proses pendidikan yang lebih menitikberatkan pemberian materi dan penentuan hasil belajar, yang justru hanya berkutat pada aspek kognitif saja.
Dalam hal ini, kebanyakan pendidik hanya terfokus bagaimana menuntaskan materi, tanpa memperhatikan keadaan peserta didik dalam menyerap materi yang mereka berikan. Dengan begitu, dampak negatif dari segi psikologis dan pedagogis akan terus bersemayam abadi dalam kultur sistem pendidikan di Indonesia. Sehingga hal ini akan secara terus menerus terulang kembali hingga tidak pernah menemui akar persoalan yang sebenarnya.
Seharusnya, para pengambil kebijakan pendidikan di negara ini lebih banyak lagi belajar pada negara Finlandia yang menjadi salah satu negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia saat ini. Dimana peraih penilaian internasional yang dilakukan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dan tes PISA oleh siswa Finlandia menempatkan negara Finlandia pada urutan negara terbaik di dunia oleh sistem pendidikannya.
Sederhana saja, bahwa negara Finlandia dapat sukses dalam sistem pendidikannya, dikarenakan mereka selalu membatasi tes siswa seminim mungkin, mengutamakan tanggung jawab sebelum akuntabilitas, meningkatkan pengajaran, serta mendukung kepemimpinan sekolah dan dinas pendidikan level daerah untuk menjadi profesional di bidang pendidikan.
Tentu terdapat beberapa perbedaan yang signifikan dengan sistem pendidikan di Indonesia yang masih bersikukuh dalam memaksimalkan tes untuk menentukan mutu pendidikan. Negara Finlandia justru sebaliknya, mereka cenderung meminimumkan tes dalam sistem pendidikannya. Dalam sistem yang dibangunnya, Finlandia mempercayakan potensi siswa kepada guru yang mendidik mereka, sehingga terdapat sistem kepercayaan dan tanggung jawab dalam pelaksanaan sistem pendidikan untuk mencetak generasi yang unggul menurut masing-masing kecerdasan yang dimiliki oleh siswa. Dengan itu, maka atmosfer belajar yang terbangun dalam sistem pendidikan Finlandia nampak sangat rileks dan jauh dari rasa takut dan beban untuk para siswa.
Titik Nadir
Jika sebuah ukuran digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan sekolah-sekolah formal yang berada di republik ini, maka ukuran itu akan berada pada sebuah titik ‘noun’, yang sering dikenal dengan sebutan titik nadir, yaitu titik paling terendah. Istilah ini biasa digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan ketidakberdayaan dan keterpurukan manusia dalam menghadapi permasalahan hidup. ”Sudah jatuh tertimpa tangga”, demikian cemerlangnya sebuah peribahasa klasik yang kurang lebih bisa menggambarkan arti dari titik nadir itu.
Hal ini bukanlah sesuatu yang tidak beralasan, sebab fenomena lahan bisnis nan endemik tetapi juga non sistemik, sering muncul dan tampil sebagai sebuah arena konsesus yang semakin membudaya dalam sistem pendidikan kita, sehingga menghadirkan hegemoni dan resistensi yang bukan saja ranah dimana sosialisme sebuah kultur terbentuk sepenuhnya, tetapi ia juga adalah suatu tempat dimana sosialisme menjadi legalitas semata, sebagaimana yang konon pernah dipaparkan Stuart Hall tentang sebuah ambiguitas budaya pop (dalam Busthan Abdy 2016:9-10)
Akhirnya, jargon-jargon politik pencitraan semakin liar dan beringas memperkokoh ‘kolaborasi cantik dan manis’ yang di lakoni sang penguasa dengan si pengusaha, dalam usahanya menggiring dunia pendidikan kepada kehancuran (mungkin saja, kehancuran kekal) yang entah kapan akan berakhir?
Alhasil, hanya sekelompok habitat elit-sosial saja yang bisa mengakses pendidikan yang cukup baik; tetapi juga tidak menjadi lebih baik. Sedangkan kaum miskin akan mempertahankan kemiskinan untuk tetap pada posisinya—bahkan mungkin bisa lebih turun satu tingkat lagi ke bawah, menjadi kaum marjinal yang secara terus-menerus merana dalam sebuah kondisi yang di sebut “proses kemelaratan yang sangat sempurna”.
Dalam kondisi seperti ini, bibir pun seakan berucap...“hanya Tuhan yang tahu, sebab memang hanya Tuhan saja tahu”, setidaknya demikian adanya sebuah kalimat klasik yang sering digunakan ketika seseorang mengalami kondisi pasrah sempurna. Sehingga sang Paulo Freire (2008) tampil pada masanya dengan menyebutkan ihwal ini sebagai “victims of oppression” alias ‘korban penindasan, juga penistaan’.
Ibarat sebuah pertempuran sengit di medan laga, korban-korban pun mulai berjatuhan, lalu bergentayangan untuk melengkapi struktur kabinet dehumanisasi yang mengakar abadi dalam sistem Pendidikan Nasional. Sehingga semakin hari, semakin membuat kebebasan berpikir, berkreasi dan bertindak menjadi sesuatu yang unik dan langkah untuk didapatkan. Bahkan lebih dari pada itu, dunianya para pelajar yang seharusnya terpelajar, justru semakin tampak primitif dan jauh dari keberadaban yang sebenarnya harus beradab.
Meminjam sepengggal kalimat Oliver Gary (2013), bahwa pada masa ini banyak sekali anaconda filosofis, relasional, sosial serta spiritual yang berkeliaran dan siap untuk menelan siapa saja yang ingin ditelannya. Sebagaimana ditekankan lebih lanjut oleh Oliver, bahwa hanya satu saja langkah awal yang harus di ambil ketika menghadapi seekor anaconda, yaitu “jangan lari”! Mengapa? Karena anaconda ini dapat bergerak sepuluh kali lebih cepat dari mangsanya.
Menarik untuk menjadikan bahan komparatif dengan meletakkan apa yang di ungkapkan Oliver ini ke dalam realiatas nyata dunia pendidikan kita. Bahwa ketika menghadapi kesulitan, tantangan dan persoalan, banyak pihak kemudian lari dan menghindari persoalan tersebut. Bahkan ironisnya, justru pihak-pihak yang berkepentingan di dalamnya semakin berlindung di balik sesuatu yang terkadang sangat “keramat’ untuk di dengar, bahkan di ucapkan, yaitu “kebijakan”.
Akhirnya, kebijakan pada titik ini tampil menjadi sosok ‘figur popular’ dari hikayat heroik—seperti sang ‘moschuach’ yang biasanya dilukiskan bangsa Yahudi sebagai sang penyelamat sejati.
Kontras
Jika kenyataan kontras dengan pemahaman, maka pemahaman akan kontras dengan harapan. Dan jika pun harapan menjadi pelengkap sistem kontras dari keduanya (kenyataan dan pemahaman), maka selayaknyalah sebuah ‘kebijakan’ muncul sebagai aturan yang memihak pada realitas dimana ‘kontras’ itu terjadi, bukan membuat kontras itu semakin menjadi-jadi.
Kontras adalah pertemuan 2D, yaitu bertemunya “diskriminasi” dan “demokrasi”. Kontras hadir ketika diskriminasi tampil sebagai figur kuat dalam alam demokrasi. Dalam lingkup pendidikan, kontras merupakan saudara kembarnya diskriminasi, yang kedua-duanya dilahirkan secara sempurna dari kawin-mawinnya perkawinan silang antara sistem yang ditetapkan dan sistem yang dilaksanakan.
Dalam hal ini, “kontras” membentuk gen yang diwariskan dari sistem yang “dilaksanakan”. Sementara “diskriminasi” membentuk gen yang diwariskan dari sistem yang “ditetapkan”. Artinya bahwa, wujud dari “diskriminasi” dalam dunia pendidikan, sebenarnya merupakan sesuatu yang terjadi di luar jalur, sebagaimana dalam tataran praksisnya, justru dengan sendirinya, terjadi pemisahan antara kebijakan pendidikan dan peraturan yang berlaku di beberapa sekolah-sekolah formal sebagai lembaga kependidikan.
Padahal, secara tegas dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sudah menjamin hak atas pendidikan bagi semua anak, tanpa terkecuali. Bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang sama, serta jauh dari tindakan diskriminatif, termasuk juga didalamnya perlakuan yang mendeskritkan pelajar penyandang disabilitas dan penyandang cacat. Berlandaskan undang-undang tersebut, seharusnya segala bentuk praktik eksklusivitas di dunia pendidikan harus dihapuskan dari semua jenjang pendidikan sejak pendidikan usia dini hingga jenjang perguruan tinggi.
Sesuatu yang kontras memang sering bersinar menerangi dunia pendidikan di republik ini. Salah satu fakta diskriminatif yang pernah terjadi dan berdampak hingga saat ini, yaitu peristiwa di awal tahun ajaran 2013/2014, dimana salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) menolak pelajar yang dalam kondisi difabel.
Menurut sumber berita, alasan pihak sekolah melakukan penolakan adalah semata-mata dengan sebuah alasan, bahwa belum tersedianya fasilitas belajar mengajar (lihat http://jateng.tribunnews.com/2013/06/25/siswa-difabel-di-klaten-ditolak..).
Menurut informasi yang diperoleh, konon katanya sekolah tersebut tidak memiliki fasilitas yang cukup, mulai dari tempat hingga Guru Pendamping Khusus (GPK) yang dapat melayani kebutuhan pelajar difabel. Jika saja orang tua dari pelajar difabel berani mengemukakan serta melaporkan kejadian diskriminatif yang menimpa anak mereka tersebut, maka kejadian di Klaten ini, bukanlah kejadian satu-satunya yang terjadi di negeri ini.
Pada titik ini, maka sesungguhnya karakter lembaga pendidikan yang menjalankan UUD 1945 menjadi sangat “kontras” dan tidak berjalan semestinya. Sehingga hal ini hanya menghasilkan semacam proyek “diskriminatif” dan melahirkan sekolah-sekolah yang bertaraf ekslusif dari pada inklusif saja.
Sebenarnya, jika seorang siswa memiliki kapasitas intelektual yang memadai dan memiliki kesehatan mental yang normal—tidak di diagnosa sama sekali mengalami gangguan jiwa—dan mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, namun dilarang melanjutkan dengan alasan mengalami kekurangan fisik seperti tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, maka artinya, pemerintah sebagai penyelenggara dari kebijakan pendidikan yang telah ditentukan, telah dengan sengaja menghianati amanat kebijakannya sendiri dengan sepenggal titah “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yaitu dengan menutup akses dan pemerataan pendidikan bagi siswa disabilitas atau difabel.
Diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 70 tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif, seharusnya bisa dijadikan dasar hukum yang tegas untuk ‘memaksa’ lembaga pendidikan tidak bersikap apatis terhadap anak didik yang masuk dalam golongan difabel misalnya.
Penghapusan rintisan sekolah berstandar internasional merupakan langkah awal meminimalisasi adanya sekolah eksklusif yang bertentangan terhadap UUD 1945 yang menjelaskan bahwa setiap warga negera berhak memperoleh pendidikan yang sama. Seharusnya, langkah awal itu semestinya dilanjutkan agar praktik ke-ekslusifan di dunia pendidikan segera musnah dan tidak berkepanjangan, sehinggga mengorbankan kurang lebih 184.000 pelajar difabel usia sekolah yang berada di Indonesia.
Semua persoalan-persoalan pendidikan yang ada, jika di telaah secara mendalam, maka akhirnya akan bermuara pada satu bagian mendasar, yaitu “kebijakan” pendidikan. Dalam hal ini, kebijakan pendidikan merupakan suatu hal yang pokok untuk menentukan arah dan pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu negara. Dalam pemahaman bahwa, penyelenggaraan pendidikan di setiap lembaga pendidikan, tidak akan pernah lepas dari suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan dalam negera tempat lembaga pendidikan itu berada.
Karenanya maka perbaikan kebijakan yang tidak efektif dan kontroversial, harus dijadikan hal yang urgen untuk ditinjau kembali. Dan agar perbaikan-perbaikan tersebut dapat dilakukan dengan efektif, maka dibutuhkanlah pisau analis yang tajam dalam memangkas setiap ranting kebijakan yang tidak efektif dan kontroversial tersebut.
Dalam hal ini, “kontras” membentuk gen yang diwariskan dari sistem yang “dilaksanakan”. Sementara “diskriminasi” membentuk gen yang diwariskan dari sistem yang “ditetapkan”. Artinya bahwa, wujud dari “diskriminasi” dalam dunia pendidikan, sebenarnya merupakan sesuatu yang terjadi di luar jalur, sebagaimana dalam tataran praksisnya, justru dengan sendirinya, terjadi pemisahan antara kebijakan pendidikan dan peraturan yang berlaku di beberapa sekolah-sekolah formal sebagai lembaga kependidikan.
Padahal, secara tegas dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sudah menjamin hak atas pendidikan bagi semua anak, tanpa terkecuali. Bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang sama, serta jauh dari tindakan diskriminatif, termasuk juga didalamnya perlakuan yang mendeskritkan pelajar penyandang disabilitas dan penyandang cacat. Berlandaskan undang-undang tersebut, seharusnya segala bentuk praktik eksklusivitas di dunia pendidikan harus dihapuskan dari semua jenjang pendidikan sejak pendidikan usia dini hingga jenjang perguruan tinggi.
Sesuatu yang kontras memang sering bersinar menerangi dunia pendidikan di republik ini. Salah satu fakta diskriminatif yang pernah terjadi dan berdampak hingga saat ini, yaitu peristiwa di awal tahun ajaran 2013/2014, dimana salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) menolak pelajar yang dalam kondisi difabel.
Menurut sumber berita, alasan pihak sekolah melakukan penolakan adalah semata-mata dengan sebuah alasan, bahwa belum tersedianya fasilitas belajar mengajar (lihat http://jateng.tribunnews.com/2013/06/25/siswa-difabel-di-klaten-ditolak..).
Menurut informasi yang diperoleh, konon katanya sekolah tersebut tidak memiliki fasilitas yang cukup, mulai dari tempat hingga Guru Pendamping Khusus (GPK) yang dapat melayani kebutuhan pelajar difabel. Jika saja orang tua dari pelajar difabel berani mengemukakan serta melaporkan kejadian diskriminatif yang menimpa anak mereka tersebut, maka kejadian di Klaten ini, bukanlah kejadian satu-satunya yang terjadi di negeri ini.
Pada titik ini, maka sesungguhnya karakter lembaga pendidikan yang menjalankan UUD 1945 menjadi sangat “kontras” dan tidak berjalan semestinya. Sehingga hal ini hanya menghasilkan semacam proyek “diskriminatif” dan melahirkan sekolah-sekolah yang bertaraf ekslusif dari pada inklusif saja.
Sebenarnya, jika seorang siswa memiliki kapasitas intelektual yang memadai dan memiliki kesehatan mental yang normal—tidak di diagnosa sama sekali mengalami gangguan jiwa—dan mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, namun dilarang melanjutkan dengan alasan mengalami kekurangan fisik seperti tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, maka artinya, pemerintah sebagai penyelenggara dari kebijakan pendidikan yang telah ditentukan, telah dengan sengaja menghianati amanat kebijakannya sendiri dengan sepenggal titah “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yaitu dengan menutup akses dan pemerataan pendidikan bagi siswa disabilitas atau difabel.
Diterbitkannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 70 tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif, seharusnya bisa dijadikan dasar hukum yang tegas untuk ‘memaksa’ lembaga pendidikan tidak bersikap apatis terhadap anak didik yang masuk dalam golongan difabel misalnya.
Penghapusan rintisan sekolah berstandar internasional merupakan langkah awal meminimalisasi adanya sekolah eksklusif yang bertentangan terhadap UUD 1945 yang menjelaskan bahwa setiap warga negera berhak memperoleh pendidikan yang sama. Seharusnya, langkah awal itu semestinya dilanjutkan agar praktik ke-ekslusifan di dunia pendidikan segera musnah dan tidak berkepanjangan, sehinggga mengorbankan kurang lebih 184.000 pelajar difabel usia sekolah yang berada di Indonesia.
Semua persoalan-persoalan pendidikan yang ada, jika di telaah secara mendalam, maka akhirnya akan bermuara pada satu bagian mendasar, yaitu “kebijakan” pendidikan. Dalam hal ini, kebijakan pendidikan merupakan suatu hal yang pokok untuk menentukan arah dan pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu negara. Dalam pemahaman bahwa, penyelenggaraan pendidikan di setiap lembaga pendidikan, tidak akan pernah lepas dari suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan dalam negera tempat lembaga pendidikan itu berada.
Karenanya maka perbaikan kebijakan yang tidak efektif dan kontroversial, harus dijadikan hal yang urgen untuk ditinjau kembali. Dan agar perbaikan-perbaikan tersebut dapat dilakukan dengan efektif, maka dibutuhkanlah pisau analis yang tajam dalam memangkas setiap ranting kebijakan yang tidak efektif dan kontroversial tersebut.
(Oleh: Abdy Busthan)
Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2016). Analisis Kebijakan Pendidikan (hal. 7-16). Kupang: Desna Life Ministry
0 komentar:
Post a Comment