Pedagogik Yahudi


Oleh: Abdy Busthan


Ketika para ilmuwan begitu ramai memperdebatkan suku bangsa dan beberapa tempat yang pernah hilang di belantara bumi ini, seperti Atlantis, Lemuria, Sodom dan Gomora, bahkan mencari-cari siapakah Gog and Magog yang sebenarnya, maka tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa sepanjang peradaban kehidupan insan manusia di dunia ini, hanya ada satu suku bangsa yang selalu menjadi objek konspirasi, kutuk, cercaan serta hinaan, tetapi juga sanjungan dan pujian. Ya, dia adalah Yahudi!

Istilah ‘Yahudi’ adalah istilah yang merujuk pada dua hal, yaitu sebuah ‘agama’ dan suatu ‘ras’ atau ‘suku bangsa’—sebagai agama, istilah ini merujuk kepada umat yang beragama Yahudi; sementara sebagai bangsa, istilah ini merujuk kepada negara Israel. Dalam hal ini, negara Israel merupakan satu-satunya negara etnis yahudi di dunia, yang memiliki jumlah populasi sebesar 7,5 juta jiwa.

Sejuta rahasia kekurangan bahkan kehebatan bangsa Yahudi seakan terpelihara di alam raya ini sejak beribu-ribu tahun yang lalu, bahkan sejak bumi dijadikan berdasarkan tatanan hukum penciptaan Sang Kreator Agung melalui buku Genesis.

Memang, dalam realitas yang sesungguhnya, ada terdapat begitu banyak kehancuran, masalah, kebobrokan yang tidak tanggung-tanggung dilakoni oleh bangsa Yahudi di alam ini. Tetapi disamping itu, banyak juga keuntungan, kesuksesan, kebaikan bahkan surga firdaus yang juga dihadirkan oleh bangsa Yahudi sebagai penguasa bumi ini.

Banyak kalangan rohaniawan dan para cendekiawan berkelas “religius” (entah fiktif, psikis, maupun edukatif) melemparkan klaim-klaim dengan tidak tanggung-tanggung, bahwa tolak ukur akhir dari zaman ini adalah kehancuran bangsa “Yahudi”. Alhasil, bangsa Yahudi selalu dijadikan maskot, dan figura tunggal tentang kedatangan hari kiamat—bahkan simbol kehadiran sang Armagedon sejati.

Ironisnya lagi, bangsa Yahudi pun di klaim sebagai kaum pemegang rahasia akhir zaman. Jika di sederhanakan maka dapat di katakan bahwa, “jika Anda ingin mempercepat hari kiamat, maka lenyapkan bangsa Yahudi!”.

Setidaknya demikian euforia tak beraturan yang dijadikan semacam euforian untuk menjustifikasi bangsa Yahudi. Bahkan beberapa umat beragama garis keras beranggapan bahwa berjalinnya ajaran Talmud dengan kepentingan politik bangsa Yahudi, adalah salah satu penyebab mengapa negara Israel bersifat sangat ekspansionistik dan kolonialistik, dengan tanpa meninggalkan modus terorisme sebagai cara untuk memperluas wilayah dan hegemoni mereka.

Demikianlah Yahudi! Bangsa yang penuh kontroversial. Bangsa ini selalu menjadi sebuah episentrum abadi dalam peradaban di alam kosmo ini. Bahkan kisah pengembaraan bangsa ini ibarat satu epik yang teramat panjang, lebih panjang dari sebuah epik Homer, atau The Iliad and the Odyssey.

Kecerdasan Bangsa Yahudi
Terlepas dari semua, dalam sebuah makalah bertaraf internasional, yang disusun oleh dua orang Prefesor yaitu Gregory Cochran dan Henry Harpending, yang diterbitkan pada tahun 2009, terdapat sebuah pertanyaan sederhana yang menjadi dasar dari semua penelitian mereka, yakni “mengapa bangsa Yahudi sangat pintar dan cerdas?”. Dan akhirnya Cochran menyaksikan sendiri bahwa teori seleksi alam sangat menyebabkan bangsa Yahudi menjadi pintar.

Memang, siapa pun tak bisa memungkiri bahwa bangsa Yahudi terkenal dengan kepintaran dan kecerdasan mereka. Mitos bangsa Yahudi cerdas, bukanlah sekedar isapan jempol belaka. Kenyataannya, bangsa Yahudi sebagai bangsa minoritas di dunia, memang banyak yang cerdas.

Peraih nobel sebagian besar diperoleh oleh orang Yahudi. Nama-nama seperti Albert Einstein sang penunggang cahaya, Karl Marx dengan teori kelasnya, Sigmun Freud dengan ego dan dan super egonya, serta Maslow dengan teori hierarkinya, Mark Zuckerberg sang penemu Facebook, Hitler sang diktator, Leonal Messi pemain sepakbola terhandal, serta lain-lainnya seperti Alan Greenspan, Sergrey Brin, Larry Page, George Soros, Steven Spielberg dan Rupert Murdoch, yang semua memiliki pengaruh besar dalam perkembangan dan peradaban dunia internasional, baik dari segi pengetahuan, politik maupun media, dan segi-segi lainnya.

Akibat kecerdasan luar biasa yang dimilikinya, bangsa Yahudi selalu menjadi 'bulan-bulanan' sebagian kalangan sejak dulu hingga saat ini. Bahkan sosok Adolf Hitler yang juga berdarah Yahudi, tetapi kemudian menjadi pembunuh orang Yahudi terbanyak di dunia, pernah berucap,.. “Saya bisa membunuh semua bangsa Yahudi ketika saya berkuasa, tapi saya tinggalkan sedikit untuk kamu kenali siapakah sebenarnya bangsa Yahudi dan mengapa saya membunuh mereka”.

Konon ceritanya, sang Hitler bersama dengan nazi Jermannya, dipercaya meluncurkan Holocoust untuk membunuh sekitar 6 juta orang Yahudi dengan tujuan untuk menghapus suku bangsa Yahudi ini di muka bumi, karena beranggapan bahwa bangsa Yahudi akan menghancurkan dan menguasai dunia suatu saat nanti. Terlepas dari benar atau tidaknya tindakan Hitler terhadap kaum Yahudi ini, kenyataan dari dulu hingga saat ini, prediksi Hitler memang sangat terbukti bahwa bangsa Yahudi dari waktu ke waktu, selalu tampil dan menguasai dunia. Bahkan hampir sebagian besar bidang kehidupan di dunia ini telah di kuasai oleh kaum Yahudi.

Pendidikan Bangsa Yahudi
Muncul pertanyaan, apa yang melatarbelakangi kecerdasan bangsa Yahudi? Mengapa Bangsa ini begitu hebat? Salah satu jawabannya adalah sistem pendidikan bangsa Yahudi yang memang sangat luar biasa! Disamping itu, sisi sosial kemasyarakatannya dari mulai nilai-nilai pendidikan hingga cara bangsa Yahudi harus bertahan di pengasingan juga perlu dipertimbangkan.

Sejak zaman Musa, tradisi mendidik anak sudah menjadi tradisi keagamaan Yahudi (Ulangan 6:4-9), dan tradisi itu bukan hanya sekedar dipelihara saja, tetapi juga selalu dikembangkan. Mereka tidak segan-segan meniru sistem pendidikan pagan dan memadukannya dengan sistem pendidikan di Bait Allah, yang berorientasi pada Tuhan.

Sebuah traktat yang berasal dari koleksi tulisan rabinik Yahudi (Mishna), yang berasal dari abad pertama, menulis bahwa: “Pada umur lima tahun (seorang anak disiapkan untuk mempelajari) Kitab Tora; dimana sepuluh tahun untuk Tora Lisan (Oral Tora); tiga belas tahun untuk Bar Mitswa; lima belas tahun untuk halakhot (keputusan rabinik yang bersifat legal); delapan belas tahun untuk pernikahan; dua puluh tahun untuk mencari kerja; tiga puluh tahun untuk memasuki masa dewasa penuh.”

Itu sebabnya pendidikan merupakan hal yang sangat dihargai dikalangan bangsa Yahudi, bahkan sebelum berkembangnya filsafat-filsafat modern di Yunani. Karena itu, wajar jika Yosefus, seorang sejarahwan Yahudi dari abad pertama, dalam bukunya berjudul Melawan Apion mengatakan: “Di atas semuanya itu, kita patut bangga atas diri kita karena pendidikan kita terhadap anak-anak kita, dan penghargaan kita atas tugas esensial dalam kehidupan kita, menanamkan hukum dan perbuatan-perbuatan mulia berdasarkan semuanya itu, dan itu telah mengakar dalam masyarakat kita.”

Sistematika pendidikan di kalangan Yahudi sejak zaman dulu memang luar biasa, di mana dalam Talmud dijumpai perkataan berikut, “Jumlah maksimal murid-murid dasar yang harus diajar oleh seorang guru adalah dua puluh orang; jika ada lima puluh murid, haruslah disediakan seorang guru tambahan; jika ada empat puluh murid, seorang murid senior haruslah menjadi asisten sang guru” (Bava Batra).

Pada abad pertama Masehi, setiap Sinagoge memiliki Beth Sefer (sekolah dasar) dan Beth Midrash (sekolah lanjutannya) sendiri-sendiri. Murid-murid diajarkan untuk menguasai Tora dan tradisi-tradisi lisan. Biasanya, pendidikan formal baru berakhir pada usia dua puluh atau tiga puluh tahun. Namun, beberapa pelajar yang dianggap mendapat karunia tertentu akan tetap melanjutkan pendidikannya di Beth Midrash. Biasanya merekalah yang kelak menjadi seorang Rabbi dan kembali mendidik generasi-generasi Yahudi berikutnya.

Kebanyakan kalangan berpikir bahwa Sinagoge adalah tempat beribadah, dimana ibadah (dalam arti ritual) lebih penting dari segala sesuatunya. Kenyataannya tidak demikian, dalam tradisi Yahudi, pendidikan dan ibadah tidak dipisahkan. Keduanya dianggap sama sederajat, bahkan dalam sebuah Talmud Babilonia disebutkan bahwa belajar Tora merupakan bentuk ibadah yang paling tinggi.

Karena itu, merupakan suatu hal yang wajar jika di dalam masyarakat Yahudi pada zaman Yesus, seorang guru dihormati sederajat dengan seorang Imam. Itulah yang juga menjadikan Ahli Tora, kalangan Ferushim, dan kalangan Tsadukim menjadi sangat populer dalam zaman Yesus. Bahkan Yesus sendiri, menjadi sosok yang sangat dikagumi salah satunya karena ia adalah seorang Rabbi. 

Dalam membangun sistem pendidikan, terdapat 6 (enam) hal positif yang dapat dijadikan pedoman dari tradisi pendidikan Yahudi.
  1. Takut akan Tuhan adalah permulaan ilmu pengetahuan (Amsal 1:7). Bukan kemampuan manusia yang dapat menggali kedalaman ilmu, tetapi Allah yang menyatakannya dalam banyak cara. Tugas manusia adalah “setia” pada Allah 
  2. Pendidikan itu setara dengan ibadah;
  3. Moral adalah buah dari pendidikan yang matang (band 1 Petrus. 1:5-7); 
  4. Pendidikan keluarga sebagai awal pendidikan;
  5. Pembekalan anak secara sistematis;
  6. Sistem pendidikan berlangsung secara dinamis serta terbuka terhadap dunia luar
Tulisan ini diambil dari buku berjudul:Pedagogik Yahudi: Perspektif Asimilasi Prehistoris, Historis & Historisitas
Penulis: Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd
Penerbit: DLM
Halaman: 1-188
Ukuran: 14,7 x 21 cm
Harga Buku: 100 rb
Kontak: 081333343222


DEPAN%2BANALISIS%2B1
Share on Google Plus

Tentang Abdy Busthan

Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd., M.Fil., adalah Dosen dan Teknolog Pembelajaran. Pembina dan Peneliti di Jurnal Ilmiah Flobamora Science. Dibesarkan di kota Nabire, Papua.Tempat tinggal di kota Kupang NTT. Lulus pendidikan S-1 dengan predikat lulusan terbaik dan tercepat (cumlaude), hanya dengan waktu 3 tahun, yaitu di FKIP IPTH Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Pendidikan S-2 pada Magister Teknologi Pendidikan, dengan mengambil konsentrasi ilmu Teknologi Pembelajaran dan Magister Filsafat.

0 komentar:

Post a Comment