Oleh: Abdy Busthan
Humanisme sebagai sebuah gerakan kemanusiaan telah banyak mengalami proses penafsiran dan penuntunan kata yang relatif panjang. Makna kata tersebut perlu ditelusuri dalam perspektif etimologis dan historis.
Menurut Busthan Abdy (2017:20), secara etimologis, istilah humanisme sangat erat kaitannya dengan kata latin klasik, yakni humus, yang berarti ‘tanah’ atau ‘bumi’. Dari istilah ini muncul kata homo yang berarti 'manusia' serta humanus yang menunjukkan sifat “membumi” dan “manusiawi”. Istilah yang senada dengannya adalah kata Latin “humilis”, yaitu kesederhanaan dan kerendahan hati.
Pada abad pertengahan, kaum terpelajar dan Klerikus yang terpengaruh dari pandangan filosofis dan teologis Agustinus serta Thomas Aquinas, sepaham juga dengan St. Agustinus yang memandang manusia tidak sekedar hanya makhluk kodrati saja, tapi juga makhluk Ilahi, yaitu dengan mengembangkan pembedaan antara divinitas dan humanitas yang dipahami sebagai suatu praksis kehidupan manusia dalam dunianya yang khas.
Bisa disimpulkan bahwa perspektif humanisme pada masa Yunani klasik berangkat dari pertimbangan-pertimbangan yang kodrati tentang manusia. Sedangkan perspektif humanisme pada abad pertengahan, berawal dari keyakinan dasar tentang manusia sebagai makhluk kodrati dan adikodrati.
Namun, gerakan humanisme yang dipahami secara spesifik dan secara murni sebagai gerakan kemanusiaan, sebetulnya baru berkembang pada zaman “renaissance”, terutama berkaitan dengan menurunnya minat kaum terpelajar (umanisti) untuk mempelajari tulisan-tulisan klasik (Yunani-Romawi)—bahkan karya-karya klasik pada saat itu justru dimodifikasi dengan gerakan kesadaran intelektual untuk bisa menghidupkan kembali literatur-literatur Yunani-Romawi.
Dalam bukunya yang berjudul “Humanisme dan Sesudahnya”, seorang Doktor lulusan Hochschule fur Philosophie Munchen, Jerman, Hardiman Budi (2012), kemudian menghadirkan pemahaman baru tentang humanisme melalui penjelasannya yang mendalam dan mendetail, bahwa ketika humanisme dibicarakan kembali saat-saat sekarang ini (sesudah masa humanisme), bukan dalam arti bahwa kemanusiaan itu memang telah usang dan tidak perlu diperjuangkan lagi.
Dalam memahami makna "humanisme" sesudah masa humanisme, maka perlu dipahami ke-13 poin humanisme berikut:
Pertama. Paham yang mengatakan bahwa gagasan besar tentang manusia perlu untuk ditinjau lagi dan dibebaskan dari metafisika kemanusiaan yang bercokol didalamnya, adalah semata-mata merupakan sebuah jeda kecil dalam gelombang perbincangan yang selama ini telah menjadi hegemonial. Alasan peninjauan kembali paham ini adalah pada kejadian-kejadian di Auschwitz, Hiroshima, Gulag, Killing Fields, Sebrenica, dan puluhan tempat pembunuhan massal lain pada abad ke-20. Sebab tragedi kemanusiaan yang telah terjadi pada tempat-tempat ini, sesungguhnya menyingkapkan bagaimana kemanusiaan tanpa Tuhan, yaitu suatu kondisi dimana manusia bermain sebagai Tuhan, dan berakhir pada kemanusiaan tanpa manusia—suatu keadaan dimana manusia konret dianggap berlebihan dihadapan konsep abstrak kemanusiaan.
Kedua. Ketika manusia menjadi ukuran bagi segala sesuatu, oleh pikiran manusia sendiri, maka kemanusiaan manusia berubah menjadi instansi abstrak yang tidak tertanggungkan oleh manusia kongkrit. Kondisi seperti ini ditandai dengan pudarnya rasa “takut akan Tuhan” yang di dalam tradisi kuno masih dianggap sebagai sumber kebijaksanaan—keadaan berubah menjadi takut akan manusia lain yang merupakan pangkal segala perversi (kelainan seksual).
Ketiga. Alasan lain di abad-21 ini, dalam mendesak untuk memikirkan kembali humanisme sekuler adalah serangan terorisme internasional atas menara kembar World Trade Center di Manhattan USA pada tanggal 11 September 2001 atau yang dikenal dengan kode 9/11. Dalam kaitannya dengan tragedi ini, topik hubungan antara Iman dan Nalar, perlu diperdalam lagi untuk memahami tentang kemanusiaan yang sesungguhnya. Artinya bahwa, membela manusia tidak lagi dapat dilakukan dengan menyingkirkan dan mengabaikan agama, seperti yang telah dilakukan oleh humanisme sekuler modern pada tragedi 9/11 tersebut. Karena pada tragedi 9/11 sudah menyingkapkan bahwa “fideisme” yang merupakan doktrin bahwa kepercayaan (fides) religius adalah satu-satunya sumber kebenaran, tidak pernah sungguh-sungguh diatasi. Sementara peradaban sekuler hanyalah membungkam aspirasi-aspirasi religius ke dalam tembok-tembok ruang privat saja. Karena masyarakat tidak pernah sungguh-sungguh untuk saling mengerti.
Keempat. Toleransi biasanya dibangun hanyalah bersifat semu, yang juga dilakukan hanya dengan sebatas gencatan senjata saja, yaitu dengan pengalihan perhatian berlebihan ke arah pertumbuhan pasar kapitalistis.
Kelima. Antroposentris (berpusat pada manusia) dalam humanisme Barat, sebenarnya sudah ditantang secara teoritis oleh postmodernisme, yaitu dalam tatanan praksisnya tampak pada krisis ekologis dalam bentuk pemanasan global dan berbagai bencana lingkungan, seperti Tsunami di Aceh dan Jepang. Sehingga dengan tragedi 9/11, antroposentris ditantang oleh kebangkitan kembali fideisme dan cara-cara berpikir teosentris.
Keenam. Relativisme dan Nihilisme yang dibawa dalam rasio sekular—dengan tanpa dimaksudkannya sendiri/tanpa di sengaja, justru telah menyediakan ruang bagi fundamentalisme agama. Karena di tengah-tengah krisis dan disorientasi nilai, sikap-sikap fundamentalistis memiliki daya tarik tersendiri dalam jiwa yang mencari kepastian dan koherensi.
Ketujuh. Dasar “intelektual” bagi paham deisme dan ateisme adalah hukum naturalisme yang merupakan suatu keyakinan bahwa kehidupan manusia sepenuhnya dikendalikan oleh hukum-hukum alam dan naluri-naluri alamiah yang bersifat non-spiritual dan material belaka. Sehingga dalam perkembangannya, naturalisme dan evolusionisme Darwin banyak mendominasi sains modern dan juga dalam praksis mengusir berbagai segi-segi misterius dan sakral dalam diri manusia
Kedelapan. Berangkat dari tragedi berdarah 9/11, maka sesudah 9/11 adalah era yang menyadari berbagai patologi akal dan kepercayaan manusia, sehingga humanisme pada era ini harus dimaknai dengan melihat kembali aspek ganda di dalamnya—yaitu aspek negatif-kritis dan positif-konstruktifnya. Maka dari kedua aspek ini, humanisme tetap merupakan sebuah jawaban yang diperlukan dewasa ini.
Kesembilan. Agama, khususnya otoritas-otoritas di dalamnya, menuntut sikap percaya sambil—jika perlu—bisa memadamkan nalar yang “berlebihan’, karena bisa menjadi godaan bagi seseorang untuk tidak percaya. Karena tak ada pihak yang lebih diuntungkan daripada mereka yang berhasil mengusir akal demi meraih loyalitas dari sesamanya.
Kesepuluh. Sebenarnya sejak awal, bukanlah iman kepada Tuhan yang dipersoalkan dalam humanisme, melainkan perversi (penyimpangan paham) kepercayaan religius. Hal ini timbul dikarenakan agama menyediakan rasa takut berlebihan yang dapat mencapai ciri-ciri patologis; agama membuat manusia justru lari dari nasibnya sendiri; agama memasung kebebasan berpikir dan banyak mengklaim kekuasaan total yang membuat perwujudan diri pribadi manusia menjadi tidak mungkin, dan seterusnya.
Keseblas. Dibutuhkan kejernihan dan keteguhan dalam menggunakan nalar, tanpa harus tergelincir masuk ke dalam para penghujat iman. Dimana “hermeneutuc of suspicion” tetap dipraktikkan ketika kebenaran agama sedang didekati. Karena cahaya nalar menjangkau sumber-sumber inspirasi yang paling profetis dalam iman religius untuk dibiarkan bicara bagi kemanusiaan. Sebab sesungguhnya kemanusiaan yang otentik berkembang dalam kesadaran akan batas-batasnya, yaitu dalam kontras dengan Yang tak Terbatas. Siapakah Yang Tak Terbatas? Dialah sang pemilik nalar dan kemanusiaan autentik
Keduabelas. Belajar dari kebenaran agama tidak harus sama dengan menganut agama itu. Sebagaimana nampak pada pernyataan sang ‘humanis lentur’, Driyarkara, bahwa: ..“menerima adanya orang-orang yang percaya kepada Tuhan, tetapi tidak ikut agama tertentu”, karena pengenalan akan ketuhanan tidak dapat dikerangkeng dalam terali-terali institusional dan sangkar-sangkar konseptual.
Ketigabelas. Nilai intrinsik yang dimiliki manusia, tidaklah diasalkan dari dalam diri manusia itu sendiri, melainkan dari segala sesuatu yang sama sekali lain daripada dirinya, kepada—mengutip kembali Anselmus—aliquid quo maius nihil cogitari (sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak bisa dipikirkan), dan di dalam sekularitas, Yang Selalu Lebih Akbar daripada Segalanya ini, tetap akan tinggal tidak bernama (Hardiman, 2012).
Humanisme sebagai sebuah gerakan kemanusiaan telah banyak mengalami proses penafsiran dan penuntunan kata yang relatif panjang. Makna kata tersebut perlu ditelusuri dalam perspektif etimologis dan historis.
Menurut Busthan Abdy (2017:20), secara etimologis, istilah humanisme sangat erat kaitannya dengan kata latin klasik, yakni humus, yang berarti ‘tanah’ atau ‘bumi’. Dari istilah ini muncul kata homo yang berarti 'manusia' serta humanus yang menunjukkan sifat “membumi” dan “manusiawi”. Istilah yang senada dengannya adalah kata Latin “humilis”, yaitu kesederhanaan dan kerendahan hati.
Pada abad pertengahan, kaum terpelajar dan Klerikus yang terpengaruh dari pandangan filosofis dan teologis Agustinus serta Thomas Aquinas, sepaham juga dengan St. Agustinus yang memandang manusia tidak sekedar hanya makhluk kodrati saja, tapi juga makhluk Ilahi, yaitu dengan mengembangkan pembedaan antara divinitas dan humanitas yang dipahami sebagai suatu praksis kehidupan manusia dalam dunianya yang khas.
Bisa disimpulkan bahwa perspektif humanisme pada masa Yunani klasik berangkat dari pertimbangan-pertimbangan yang kodrati tentang manusia. Sedangkan perspektif humanisme pada abad pertengahan, berawal dari keyakinan dasar tentang manusia sebagai makhluk kodrati dan adikodrati.
Namun, gerakan humanisme yang dipahami secara spesifik dan secara murni sebagai gerakan kemanusiaan, sebetulnya baru berkembang pada zaman “renaissance”, terutama berkaitan dengan menurunnya minat kaum terpelajar (umanisti) untuk mempelajari tulisan-tulisan klasik (Yunani-Romawi)—bahkan karya-karya klasik pada saat itu justru dimodifikasi dengan gerakan kesadaran intelektual untuk bisa menghidupkan kembali literatur-literatur Yunani-Romawi.
Dalam bukunya yang berjudul “Humanisme dan Sesudahnya”, seorang Doktor lulusan Hochschule fur Philosophie Munchen, Jerman, Hardiman Budi (2012), kemudian menghadirkan pemahaman baru tentang humanisme melalui penjelasannya yang mendalam dan mendetail, bahwa ketika humanisme dibicarakan kembali saat-saat sekarang ini (sesudah masa humanisme), bukan dalam arti bahwa kemanusiaan itu memang telah usang dan tidak perlu diperjuangkan lagi.
Dalam memahami makna "humanisme" sesudah masa humanisme, maka perlu dipahami ke-13 poin humanisme berikut:
Pertama. Paham yang mengatakan bahwa gagasan besar tentang manusia perlu untuk ditinjau lagi dan dibebaskan dari metafisika kemanusiaan yang bercokol didalamnya, adalah semata-mata merupakan sebuah jeda kecil dalam gelombang perbincangan yang selama ini telah menjadi hegemonial. Alasan peninjauan kembali paham ini adalah pada kejadian-kejadian di Auschwitz, Hiroshima, Gulag, Killing Fields, Sebrenica, dan puluhan tempat pembunuhan massal lain pada abad ke-20. Sebab tragedi kemanusiaan yang telah terjadi pada tempat-tempat ini, sesungguhnya menyingkapkan bagaimana kemanusiaan tanpa Tuhan, yaitu suatu kondisi dimana manusia bermain sebagai Tuhan, dan berakhir pada kemanusiaan tanpa manusia—suatu keadaan dimana manusia konret dianggap berlebihan dihadapan konsep abstrak kemanusiaan.
Kedua. Ketika manusia menjadi ukuran bagi segala sesuatu, oleh pikiran manusia sendiri, maka kemanusiaan manusia berubah menjadi instansi abstrak yang tidak tertanggungkan oleh manusia kongkrit. Kondisi seperti ini ditandai dengan pudarnya rasa “takut akan Tuhan” yang di dalam tradisi kuno masih dianggap sebagai sumber kebijaksanaan—keadaan berubah menjadi takut akan manusia lain yang merupakan pangkal segala perversi (kelainan seksual).
Ketiga. Alasan lain di abad-21 ini, dalam mendesak untuk memikirkan kembali humanisme sekuler adalah serangan terorisme internasional atas menara kembar World Trade Center di Manhattan USA pada tanggal 11 September 2001 atau yang dikenal dengan kode 9/11. Dalam kaitannya dengan tragedi ini, topik hubungan antara Iman dan Nalar, perlu diperdalam lagi untuk memahami tentang kemanusiaan yang sesungguhnya. Artinya bahwa, membela manusia tidak lagi dapat dilakukan dengan menyingkirkan dan mengabaikan agama, seperti yang telah dilakukan oleh humanisme sekuler modern pada tragedi 9/11 tersebut. Karena pada tragedi 9/11 sudah menyingkapkan bahwa “fideisme” yang merupakan doktrin bahwa kepercayaan (fides) religius adalah satu-satunya sumber kebenaran, tidak pernah sungguh-sungguh diatasi. Sementara peradaban sekuler hanyalah membungkam aspirasi-aspirasi religius ke dalam tembok-tembok ruang privat saja. Karena masyarakat tidak pernah sungguh-sungguh untuk saling mengerti.
Keempat. Toleransi biasanya dibangun hanyalah bersifat semu, yang juga dilakukan hanya dengan sebatas gencatan senjata saja, yaitu dengan pengalihan perhatian berlebihan ke arah pertumbuhan pasar kapitalistis.
Kelima. Antroposentris (berpusat pada manusia) dalam humanisme Barat, sebenarnya sudah ditantang secara teoritis oleh postmodernisme, yaitu dalam tatanan praksisnya tampak pada krisis ekologis dalam bentuk pemanasan global dan berbagai bencana lingkungan, seperti Tsunami di Aceh dan Jepang. Sehingga dengan tragedi 9/11, antroposentris ditantang oleh kebangkitan kembali fideisme dan cara-cara berpikir teosentris.
Keenam. Relativisme dan Nihilisme yang dibawa dalam rasio sekular—dengan tanpa dimaksudkannya sendiri/tanpa di sengaja, justru telah menyediakan ruang bagi fundamentalisme agama. Karena di tengah-tengah krisis dan disorientasi nilai, sikap-sikap fundamentalistis memiliki daya tarik tersendiri dalam jiwa yang mencari kepastian dan koherensi.
Ketujuh. Dasar “intelektual” bagi paham deisme dan ateisme adalah hukum naturalisme yang merupakan suatu keyakinan bahwa kehidupan manusia sepenuhnya dikendalikan oleh hukum-hukum alam dan naluri-naluri alamiah yang bersifat non-spiritual dan material belaka. Sehingga dalam perkembangannya, naturalisme dan evolusionisme Darwin banyak mendominasi sains modern dan juga dalam praksis mengusir berbagai segi-segi misterius dan sakral dalam diri manusia
Kedelapan. Berangkat dari tragedi berdarah 9/11, maka sesudah 9/11 adalah era yang menyadari berbagai patologi akal dan kepercayaan manusia, sehingga humanisme pada era ini harus dimaknai dengan melihat kembali aspek ganda di dalamnya—yaitu aspek negatif-kritis dan positif-konstruktifnya. Maka dari kedua aspek ini, humanisme tetap merupakan sebuah jawaban yang diperlukan dewasa ini.
Kesembilan. Agama, khususnya otoritas-otoritas di dalamnya, menuntut sikap percaya sambil—jika perlu—bisa memadamkan nalar yang “berlebihan’, karena bisa menjadi godaan bagi seseorang untuk tidak percaya. Karena tak ada pihak yang lebih diuntungkan daripada mereka yang berhasil mengusir akal demi meraih loyalitas dari sesamanya.
Kesepuluh. Sebenarnya sejak awal, bukanlah iman kepada Tuhan yang dipersoalkan dalam humanisme, melainkan perversi (penyimpangan paham) kepercayaan religius. Hal ini timbul dikarenakan agama menyediakan rasa takut berlebihan yang dapat mencapai ciri-ciri patologis; agama membuat manusia justru lari dari nasibnya sendiri; agama memasung kebebasan berpikir dan banyak mengklaim kekuasaan total yang membuat perwujudan diri pribadi manusia menjadi tidak mungkin, dan seterusnya.
Keseblas. Dibutuhkan kejernihan dan keteguhan dalam menggunakan nalar, tanpa harus tergelincir masuk ke dalam para penghujat iman. Dimana “hermeneutuc of suspicion” tetap dipraktikkan ketika kebenaran agama sedang didekati. Karena cahaya nalar menjangkau sumber-sumber inspirasi yang paling profetis dalam iman religius untuk dibiarkan bicara bagi kemanusiaan. Sebab sesungguhnya kemanusiaan yang otentik berkembang dalam kesadaran akan batas-batasnya, yaitu dalam kontras dengan Yang tak Terbatas. Siapakah Yang Tak Terbatas? Dialah sang pemilik nalar dan kemanusiaan autentik
Keduabelas. Belajar dari kebenaran agama tidak harus sama dengan menganut agama itu. Sebagaimana nampak pada pernyataan sang ‘humanis lentur’, Driyarkara, bahwa: ..“menerima adanya orang-orang yang percaya kepada Tuhan, tetapi tidak ikut agama tertentu”, karena pengenalan akan ketuhanan tidak dapat dikerangkeng dalam terali-terali institusional dan sangkar-sangkar konseptual.
Ketigabelas. Nilai intrinsik yang dimiliki manusia, tidaklah diasalkan dari dalam diri manusia itu sendiri, melainkan dari segala sesuatu yang sama sekali lain daripada dirinya, kepada—mengutip kembali Anselmus—aliquid quo maius nihil cogitari (sesuatu yang lebih besar daripadanya tidak bisa dipikirkan), dan di dalam sekularitas, Yang Selalu Lebih Akbar daripada Segalanya ini, tetap akan tinggal tidak bernama (Hardiman, 2012).
Rujukan Buku:
Busthan Abdy (2017). Teori Pembelajaran Humanistik: Maslow, Dewey, Rogers, Fromm. Kupang: Desna Life Ministry
0 komentar:
Post a Comment