Penalaran Induksi dan Deduksi




Terdapat dua penarikan kesimpulan dalam wilayah cabang-cabang kefilsafatan, khususnya logika, yaitu: deduksi dan induksi. Logika deduktif berpaling pada matematika, dan logika induktif berpaling pada statistika.

Saya teringat ketika waktu masih duduk di bangku SMP di kota Nabire-Papua. Setiap hari Sabtu, Tante saya yang berasal dari daerah transmigrasi SP Satu, datang ke rumah kami dengan membawa jeruk Nabire yang rasanya manis dan segar. Beberapa tahun berlalu, ketika kuliah di kota Makassar, saya pernah berkunjung ke rumah salah satu teman saya, saat itu saya dihidangkan jeruk yang juga berasal dari Nabire. Saya pun memakannya, dan jeruk itu terasa manis serta menyegarkan.

Selang beberapa tahun lamanya, ketika saya sudah berada di kota Kupang NTT, suatu ketika tetangga saya memberikan dua buah jeruk yang pada waktu saya memakannya, jeruk itu terasa manis sekali. Dan belakangan ini baru saya ketahui bahwa jeruk yang pernah diberikan teman saya itu ternyata jeruk Nabire. Akhirnya, saya pun menyimpulkan bahwa, semua jeruk Nabire itu manis dan segar. Maka saat itu juga saya sedang melakukan "penalaran induktif". Artinya bahwa, dari sekelompok jeruk Nabire yang saya makan, ternyata manis dan segar. Sehingga saya pun membuat kesimpulan bahwa: "semua jeruk Nabire itu manis dan segar".

Suatu ketika di waktu berlainan, saya pulang mengajar dari kampus Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, dan menyusuri jalan Eltari Kupang, tiba-tiba saya melihat ada seorang pemuda yang menjual sekumpulan jeruk Nabire, saya pun menghampirinya dan tanpa mencoba lagi, saya langsung membelinya karena sudah saya pastikan bahwa jeruk itu rasanya manis dan segar. Nah di sini, saya sedang melakukan "penalaran deduktif". Artinya, dari kebenaran yang sudah saya terima sebelumnya, bahwa semua jeruk Nabire itu manis dan segar, maka saya simpulkan bahwa jeruk Nabire yang dijual di Jalan Eltari itu manis dan segar.

Pertanyaannya, apa itu penalaran induktif dan deduktif?

Menurut Busthan Abdy (2018:117-118), induksi dan deduksi selalu berhubungan. Keduanya selalu bersama-sama dan saling memuat. Induksi tidak akan ada tanpa deduksi, dan jika di balik juga sama dengan itu. Deduksi akan selalu dijiwai oleh induksi. Dalam proses memperoleh ilmu pengetahuan, induksi biasanya mendahului deduksi. Sedangkan dalam logika, biasanya deduksilah yang dibicarakan terlebih dahulu. Itu sebabnya deduksi dipandang lebih penting untuk latihan dan perkembangan pikiran atau penalaran. 

Penalaran Induksi
Louis O Kattsoff dalam Busthan Abdy (2018:118), menegaskan bahwa logika induktif, selalu membicarakan penarikan kesimpulan bukan dari pernyataan-pernyataan yang umum, melainkan dari pernyataan-pernyataan yang khusus. Kesimpulannya hanyalah berupa probabilitas berdasarkan atas pernyataan-pernyataan yang telah diajukan. (probabilitas adalah kemungkinan benar).

Sedangkan menurut Rapar Hendrik Jan dalam Busthan Abdy (2018), pada hakikatnya induksi adalah proses generalisasi berdasarkan hal-hal partikular yang diteliti, untuk memperoleh suatu konklusi yang universal. Apabila hal-hal partikular yang dimaksudkan itu mencakup keseluruhan jumlah dari suatu jenis atau peristiwa yang diteliti, maka induksi yang demikian disebut induksi lengkap.

Misalnya, untuk mengetahui agama yang dianut oleh semua mahasiswa/i Fakultas Bahasa Indonesia PGRI NTT, maka setiap mahasiswa/i Fakultas Bahasa Indonesia PGRI NTT mulai diwawancarai untuk memperoleh data mengenai agama yang mereka anut. Apabila selesai diteliti satu per satu, dan ternyata semua beragama Kristen Protestan, maka diambil konklusi bahwa semua mahasiswa/i Fakultas Bahasa Indonesia PGRI NTT adalah penganut agama Kristen Protestan.

Generalisasi juga dapat dilakukan dengan beberapa partikular, bahkan dapat pula hanya dengan satu hal khusus atau satu peristiwa khusus. Misalnya: hanya dengan setetes darah saja, maka dapat ditentukan golongan darah seseorang. Jadi, untuk menentukan golongan darah seseorang, tidak perlu diteliti seluruh darah yang dimiliki. Induksi yang demikian adalah induksi yang tidak lengkap.

Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa penalaran induktif atau kadang disebut logika induktif, adalah penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan yang umum. Contoh argumen induktif adalah sebagai berikut:
Sapi Madura punya sebuah jantung
Sapi Bali punya sebuah jantung
Sapi Brahman punya sebuah jantung
Jadi, setiap sapi punya sebuah jantung

Penalaran Deduktif
Menurut Busthan Abdy (2018: 130), secara filosofis, deduksi adalah usaha untuk menyingkapkan konsekuensi-konsekuensi eksperiensal dari suatu hipotesis eksplanatoris. Setelah seorang ilmuan memilih hipotesis, kemudian menyimpulkan prediksi-prediksi eksperensial dari hipotesis itu, lalu mencatat dan menyeleksi prediksi, serta akhirnya mengamati apakah prediksi itu terjadi atau tidak, maka proses menarik prediksi-prediksi dari suatu hipotesis inilah yang disebutkan dengan proses deduksi.

Sebagai contoh, seorang bernama Petrus percaya pada infalibilitas Paus. Jika hipotesis ini benar, orang yang sama akan sangat percaya pada semua ajaran yang diterima umum oleh orang-orang beragama Katolik, dan ia juga akan terlibat dalam praktek-praktek devosi Katolik. Bahkan lebih dari itu, keluarganya akan memiliki keinginan yang sama. Semuanya ini merupakan proposisi-proposisi yang diturunkan secara "deduktif" dari hipotesis di atas dan merupakan prediksi-prediksi yang harus diuji kebenarannya sehingga pada gilirannya, hipotesis di atas dapat terbukti benar.

Maka sekali lagi, deduksi adalah usaha untuk menyingkapkan konsekuensi-konsekuensi eksperiensal dari hipotesis eksplanatoris, dengan tugasnya untuk mengeksplikasi hipotesis dengan cara menarik konsekuensi eksperiensial dari suatu hipotesis (Keraf Sonny & Dua Mikhael,2001:97).

Louis Kattsoff dalam Busthan Abdy (2018:130), berpendapat bahwa logika deduktif membicarakan cara-cara untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan, bila terlebih dahulu telah diajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai semua atau sejumlah hal diantara suatu kelompok. Kesimpulan yang sah pada suatu penalaran deduktif selalu akan merupakan akibat yang bersifat keharusan dari pernyataan-pernyataan yang sudah lebih dahulunya diajukan.

Jadi menurut Busthan Abdy (2018:132), setiap argumen yang menggunakan penalaran deduktif, akan selalu berangkat dari premis-premis yang terdiri dari kebenaran-kebenaran yang sudah diterima sebagai yang benar. Dan kemudian ditarik suatu kesimpulan sebagai kebenaran baru yang tidak bisa disangsikan. Misalnya ketika seorang sudah memastikan bahwa semua madu itu manis, dan menemukan ada madu dalam kue misalnya, maka dia pasti tidak sunkan-sunkan lagi untuk tidak memakannya. Demikianlah argumentasi dengan penalaran deduktif: Semua madu itu manis. Kue itu mengandung madu. Jadi kue itu manis.

Contoh sederhananya, misalnya ketika melakukan kesalahan ditempat kerja, dan mendapat teguran dari pimpinan, maka kita pun bisa meminta maaf sambil sedikit membela diri dengan mengatakan, "saya kan manusia". Maksud sebenarnya dari kalimat ini adalah, bahwa "semua manusia bisa melakukan kesalahan, dan saya adalah manusia, maka saya juga bisa melakukan kesalahan".

Atau misalnya lagi, ketika teman kita yang malas belajar tidak naik kelas, dan kita berkata: "pantas tidak naik kelas, karena tidak pernah belajar". Artinya bahwa semua orang yang tidak belajar pasti tidak naik kelas. Teman saya tidak belajar. Pantas tidak naik kelas.

Jadi, penyimpulan deduktif selalu dilakukan berdasarkan premis-premis berupa kebenaran umum, yang kemudian ditarik kesimpulan sebagai kebenaran baru. Dalam penyimpulan deduktif yang benar, kesimpulan atau konklusi, harus valid dan sahih. Mengapa? Karena kesimpulan sebenarnya sudah terkandung dalam premis.

Menurut Busthan Abdy (2018:133), kebenaran konklusi dalam deduksi, akan tergantung pada kebenaran-kebenaran dalam premis. Maka kesimpulan yang lurus dalam metode deduktif ini selalu sahih dari materi yang tidak benar. Perhatikan silogisme berikut:
Semua wanita memakai anting
Semua ibu guru adalah wanita
Jadi, semua ibu guru memakai anting

Jika benar bahwa semua wanita memakai anting, dan benar pula bahwa semua ibu guru adalah wanita, maka kesimpulan atau konklusi semua ibu guru memakai anting, adalah sesuatu yang sangat valid. Contoh lainnya:
Jika pasien yang menderita disentri maka dia pasti sakit perut.
Ternyata pasien menderita disentri
Kalau begitu dia pasti sakit perut. 

Karena kesimpulan sudah terkandung dalam premis, maka prinsip penyimpulan deduktif mengatakan bahwa kesimpulan tidak boleh lebih besar dari premis. Jika kesimpulan lebih besar, berarti ada tambahan yang diberikan pada kesimpulan, dan ini akan membuat kesimpulan menjadi tidak logis.

Semoga bermanfaat.. Salam Wassalam... Hormat di Bri

Sumber Buku:
Busthan Abdy (2018). PENDIDIKAN LOGIKA: Konsep Dasar Berlogika. Kupang: Desna Life Ministry
Share on Google Plus

Tentang Abdy Busthan

Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd., M.Fil., adalah Dosen dan Teknolog Pembelajaran. Pembina dan Peneliti di Jurnal Ilmiah Flobamora Science. Dibesarkan di kota Nabire, Papua.Tempat tinggal di kota Kupang NTT. Lulus pendidikan S-1 dengan predikat lulusan terbaik dan tercepat (cumlaude), hanya dengan waktu 3 tahun, yaitu di FKIP IPTH Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Pendidikan S-2 pada Magister Teknologi Pendidikan, dengan mengambil konsentrasi ilmu Teknologi Pembelajaran dan Magister Filsafat.

1 komentar: