Agama dan negara sudah lama berselingkuh di republik ini. Keduanya getol menjalin perselingkuhan secara diam-diam. Bahkan mendalam! Keduanya memang saling terpikat satu dengan lainnya. Negara selalu menggoda agama untuk menyetubuhinya dengan beragam fantasi brutal dalam bentuk-bentuk penindasan terstruktur seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dll, demi melanggengkan status quo. Begitupun sebaliknya. Akhirnya, tak ada kata yang pantas lagi selain mengatakan bahwa:
Agama adalah sebuah tirani! Ya, agama adalah tirani dalam negara!
Benar, apa yang dikatakan Yewangoe (2011:239) bahwa, agama adalah sebuah gejala kemanusiaan. Artinya, hanya manusialah yang mampu menyatakan perasaan dan praksis keberagamannya. Karena itu, agama sangat melekat pada manusia dan intensitas manusia menjalani praksis keberagamannya itu sendiri. Sehingga agama dengan segala atributnya jika tidak dipahami dengan arif, maka ia akan menjadi tempat yang paling mengasikkan untuk bercokolnya tirani-tirani kekuasaan. Kekokohan tirani ini yang kemudian dengan gagahnya berdiri dengan mengatasnamakan Tuhan.
Akhirnya, muncullah kolaborasi liar dan brutal antara agama dan kekuasaan, demi melenyapkan kebebasan dari mereka yang berbeda paham religius, bahkan yang bersinggungan paham politik dengannya. Bahkan, seakan mendewakan pahala, mereka lalu menghalalkan ambisi demi merindukan surga kehidupan yang semu. Pertanyaannya, inikah keagungan religius? Apakah penindasan sesama selalu di atas segalanya? Inikah titah Sang Semesta? Jika sebuah kekuasaan memang bagian dari dakwah, alangkah indah seandainya dunia tanpa agama.
Lembaga Keagamaan dalam Tirani
Max Weber (2012), dalam pembahasan panjang lebar tentang sosiologi agama, pernah menyatakan bahwa, kecenderungan teknologi dan birokrasi akan muncul dan melenyapkan agama sehingga ia pun dapat menguasai masyarakat modern, yang akhirnya muncullah hegemoni dan pemikiran sekuler. Lebih lanjut dijelaskan Weber bahwa, hilangnya peran agama ditengah masyarakat dunia terutama diakibatkan oleh ciri religiusitas yang paling mendasar, yaitu hubungan sosial dan meyakini “hari depan”. Pada titik ini, korupsi-manipulasi dan mafia birokrasi dalam bentuk apapun akan merugikan kepentingan orang lain dengan skala yang luas. Dengan demikian, koruptor dan mafia birokrasi telah menunjukkan diri mereka sebagai bukan ciri mahluk yang sekuler apalagi religius. Alhasil, koruptor dan mafia birokrasi tidak akan lagi mempertimbangkan “hari depan” sebab mereka tidak memandang masa depan generasi berikutnya.
Merujuk pengertian korupsi yang dikemukakan oleh Hogwood & Peters (1985) dalam bukunya The Pathology of Public Policy, bahwa, korupsi merupakan perilaku yang termanifes dalam penggelapan dana atau materi yang seharusnya untuk kesejahteraan publik, tetapi digunakan memperkaya diri sendiri sehingga menimbulkan kerugian di pihak yang lebih luas. Karenanya, maka kedua penulis buku tersebut menggolongkan korupsi sebagai pathologies of budgeting. Sedangkan manipulasi adalah publikasi terhadap kebijakan publik. Mari kita sinkronkan pemahaman ini ke dalam fakta realitas Lembaga Keagamaan di bumi Pertiwi ini.
Dalam perkembangan realitas bangsa Indonesia, tidak jarang lembaga-lembaga negara terjerumus dalam aneka tirani birokrasi dengan korupsi dalam skala besar-besaran. Selain kasus suap impor daging yang melibatkan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), yakni Patrialis Akbar baru-baru ini, tentu masih banyak lagi rentetan kasus-kasus korupsi yang banyak sekali menggandeng lembaga-lembaga negara lainnya, seperti penyimpangan Lembaga Keagamaan Republik Indonesia selama sepuluh tahun terakhir ini.
Agama adalah sebuah tirani! Ya, agama adalah tirani dalam negara!
Benar, apa yang dikatakan Yewangoe (2011:239) bahwa, agama adalah sebuah gejala kemanusiaan. Artinya, hanya manusialah yang mampu menyatakan perasaan dan praksis keberagamannya. Karena itu, agama sangat melekat pada manusia dan intensitas manusia menjalani praksis keberagamannya itu sendiri. Sehingga agama dengan segala atributnya jika tidak dipahami dengan arif, maka ia akan menjadi tempat yang paling mengasikkan untuk bercokolnya tirani-tirani kekuasaan. Kekokohan tirani ini yang kemudian dengan gagahnya berdiri dengan mengatasnamakan Tuhan.
Akhirnya, muncullah kolaborasi liar dan brutal antara agama dan kekuasaan, demi melenyapkan kebebasan dari mereka yang berbeda paham religius, bahkan yang bersinggungan paham politik dengannya. Bahkan, seakan mendewakan pahala, mereka lalu menghalalkan ambisi demi merindukan surga kehidupan yang semu. Pertanyaannya, inikah keagungan religius? Apakah penindasan sesama selalu di atas segalanya? Inikah titah Sang Semesta? Jika sebuah kekuasaan memang bagian dari dakwah, alangkah indah seandainya dunia tanpa agama.
Lembaga Keagamaan dalam Tirani
Max Weber (2012), dalam pembahasan panjang lebar tentang sosiologi agama, pernah menyatakan bahwa, kecenderungan teknologi dan birokrasi akan muncul dan melenyapkan agama sehingga ia pun dapat menguasai masyarakat modern, yang akhirnya muncullah hegemoni dan pemikiran sekuler. Lebih lanjut dijelaskan Weber bahwa, hilangnya peran agama ditengah masyarakat dunia terutama diakibatkan oleh ciri religiusitas yang paling mendasar, yaitu hubungan sosial dan meyakini “hari depan”. Pada titik ini, korupsi-manipulasi dan mafia birokrasi dalam bentuk apapun akan merugikan kepentingan orang lain dengan skala yang luas. Dengan demikian, koruptor dan mafia birokrasi telah menunjukkan diri mereka sebagai bukan ciri mahluk yang sekuler apalagi religius. Alhasil, koruptor dan mafia birokrasi tidak akan lagi mempertimbangkan “hari depan” sebab mereka tidak memandang masa depan generasi berikutnya.
Merujuk pengertian korupsi yang dikemukakan oleh Hogwood & Peters (1985) dalam bukunya The Pathology of Public Policy, bahwa, korupsi merupakan perilaku yang termanifes dalam penggelapan dana atau materi yang seharusnya untuk kesejahteraan publik, tetapi digunakan memperkaya diri sendiri sehingga menimbulkan kerugian di pihak yang lebih luas. Karenanya, maka kedua penulis buku tersebut menggolongkan korupsi sebagai pathologies of budgeting. Sedangkan manipulasi adalah publikasi terhadap kebijakan publik. Mari kita sinkronkan pemahaman ini ke dalam fakta realitas Lembaga Keagamaan di bumi Pertiwi ini.
Dalam perkembangan realitas bangsa Indonesia, tidak jarang lembaga-lembaga negara terjerumus dalam aneka tirani birokrasi dengan korupsi dalam skala besar-besaran. Selain kasus suap impor daging yang melibatkan hakim Mahkamah Konstitusi (MK), yakni Patrialis Akbar baru-baru ini, tentu masih banyak lagi rentetan kasus-kasus korupsi yang banyak sekali menggandeng lembaga-lembaga negara lainnya, seperti penyimpangan Lembaga Keagamaan Republik Indonesia selama sepuluh tahun terakhir ini.
Sebut saja beberapa kasus korupsi yang beberapa diantaranya belum tuntas keputusannys sampai detik ini, seperti: kasus korupsi Departemen Agama di kota Jayapura-Papua di tahun 2009, terkait dengan dana bantuan Ditjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI yang diperuntukkan untuk 22 pondok pesantren yang ada di Papua. Begitupun korupsi pengadaan perlengkapan laboratorium IPA Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah senilai Rp 77 milyar di tahun 2010. Tidak kalah pentingnya juga dengan korupsi pengadaan Kitab Suci Al-Quran di tahun 2011-2012, yang disinyalir merugikan negara hingga Rp 27 miliar, di mana kasus ini banyak sekali menyeret pejabat tertinggi di Kementerian Agama. Tak luput pula kasus korupsi pada Koperasi Pegawai Republik Indonesia Departemen Agama Sidoarjo di tahun 2013, yang dilakukan oleh Lilik Handayani, mantan Kepala Tata Usaha (KTU) di Departemen Agama daerah Sidoarjo Surabaya.
Kasus-kasus korupsi yang melibatkan Lembaga Kementerian Agama ini, tidak hanya sampai di situ saja. Pada tahun 2012 misalnya, ditengah segala upaya pengungkapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus proyek IT Laboratorium komputer dan pengadaan Alquran di Kementerian Agama, akhirnya dari hasil penelusuran PPATK, terbongkarlah kepemilikan Rekening Gajah oleh Pejabat Kemenag. Dan berbuntut penepatapan KPK atas bekas Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka kasus korupsi penyelenggaraan haji periode 2012-2013 pada tanggal 22 Mei 2014, yang melakukan penyelewengan akomodasi haji dengan anggaran totalnya lebih dari Rp 1 triliun, di mana kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 1,8 triliun. Di saat yang sama, Suryadharma Ali juga diduga menyalahgunakan wewenang karena membawa rombongan haji gratis yang terdiri atas keluarga dan koleganya serta anggota DPR.
Korupsi merupakan salah satu bentuk patologi sosial yang selalu ada dalam setiap peradaban. Tidak peduli peradaban kuno, modern atau pasca modern sekalipun, korupsi selalu hadir dan terkait dengan kepentingan banyak orang. Korupsi juga tidak mengenal status sosial maupun latar belakang keagamaan. Bahkan dapat dikatakan bahwa sekarang ini korupsi sudah menjadi semacam agama baru. Hal lain yang juga menarik adalah korupsi bukan saja terjadi dalam institusi-institusi sekuler, melainkan juga dalam institusi keagaman, seperti kasus yang dijabarkan di atas.
Ternyata korupsi benar-benar tidak mengenal aliran keagamaan dan iman apapun. Kapanpun, siapapun, dan di mana saja, hantu korupsi selalu siap mengerogoti martabat orang-orang yang konon disebut ‘beriman’. Di dunia politik apalagi. Ada tendensi, korupsi sudah menjadi ‘program utama’ partai, maupun pelaku politik. Praktek korupsi juga sudah menjadi semacam pekerjaan pokok para pejabat mulai dari pusat sampai desa-desa di seluruh wilayah negeri tercinta ini.
Fenomena penyimpangan masif birokrasi dari Kementerian Agama (Kemenag) seperti kasus-kasus di atas, sesungguhnya memberi sinyal yang sangat akurat bahwa peranan Kementerian Agama telah melenyapkan eksistensi agama, seperti pendekatan Weber yang sudah dijelaskan sebelumnya. Ya, kasus seperti ini memberikan sinyalemen bahwa lembaga agama di republik tercinta ini memang sudah tidak dapat lagi dipercaya sebagai agen pembawa dakwah dan muara serta mata air kesejukan bagi umat.
Kasus-kasus korupsi yang melibatkan Lembaga Kementerian Agama ini, tidak hanya sampai di situ saja. Pada tahun 2012 misalnya, ditengah segala upaya pengungkapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas kasus proyek IT Laboratorium komputer dan pengadaan Alquran di Kementerian Agama, akhirnya dari hasil penelusuran PPATK, terbongkarlah kepemilikan Rekening Gajah oleh Pejabat Kemenag. Dan berbuntut penepatapan KPK atas bekas Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka kasus korupsi penyelenggaraan haji periode 2012-2013 pada tanggal 22 Mei 2014, yang melakukan penyelewengan akomodasi haji dengan anggaran totalnya lebih dari Rp 1 triliun, di mana kerugian negara diperkirakan mencapai Rp 1,8 triliun. Di saat yang sama, Suryadharma Ali juga diduga menyalahgunakan wewenang karena membawa rombongan haji gratis yang terdiri atas keluarga dan koleganya serta anggota DPR.
Korupsi merupakan salah satu bentuk patologi sosial yang selalu ada dalam setiap peradaban. Tidak peduli peradaban kuno, modern atau pasca modern sekalipun, korupsi selalu hadir dan terkait dengan kepentingan banyak orang. Korupsi juga tidak mengenal status sosial maupun latar belakang keagamaan. Bahkan dapat dikatakan bahwa sekarang ini korupsi sudah menjadi semacam agama baru. Hal lain yang juga menarik adalah korupsi bukan saja terjadi dalam institusi-institusi sekuler, melainkan juga dalam institusi keagaman, seperti kasus yang dijabarkan di atas.
Ternyata korupsi benar-benar tidak mengenal aliran keagamaan dan iman apapun. Kapanpun, siapapun, dan di mana saja, hantu korupsi selalu siap mengerogoti martabat orang-orang yang konon disebut ‘beriman’. Di dunia politik apalagi. Ada tendensi, korupsi sudah menjadi ‘program utama’ partai, maupun pelaku politik. Praktek korupsi juga sudah menjadi semacam pekerjaan pokok para pejabat mulai dari pusat sampai desa-desa di seluruh wilayah negeri tercinta ini.
Fenomena penyimpangan masif birokrasi dari Kementerian Agama (Kemenag) seperti kasus-kasus di atas, sesungguhnya memberi sinyal yang sangat akurat bahwa peranan Kementerian Agama telah melenyapkan eksistensi agama, seperti pendekatan Weber yang sudah dijelaskan sebelumnya. Ya, kasus seperti ini memberikan sinyalemen bahwa lembaga agama di republik tercinta ini memang sudah tidak dapat lagi dipercaya sebagai agen pembawa dakwah dan muara serta mata air kesejukan bagi umat.
Harus dipahami, bahwa mafia birokrasi berlebel Kementerian Agama adalah merupakan masalah krusil, sebab mengingat peran Kementerian Agama sendiri adalah bagian dari penyelenggaraan perlindungan hak asasi manusia yang pengamalannya melalui negara, dan yang dibatasi pula oleh Konstitusi dengan seperangkat alat perundang-undangan, demi untuk tercapainya tujuan negara.
Di Indonesia misalnya, lahirnya UU No. 1/PnPs/1965 dimaksudkan mengatur untuk pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama jo. UU No. 5 Tahun 1969 yang mengatur segala bentuk pernyataan berbagai penetapan dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang, yang lebih banyaknya dimaksudkan melindungi segala penodaan dan penyimpangan terhadap pokok-pokok ajaran suatu agama.
Berbagai perilaku korup mafia birokrasi Kementerian Agama tentu saja akan berbeda dampaknya dibandingkan birokrasi lain, karena institusi ini bersinggungan langsung dengan teritori yang sangat sensitif. Korupsi Kemenag juga berimplikasi pada pelanggaran HAM, yang secara sengaja dan terbuka menyatakan penodaan dan penistaan ajaran agama. Alhasil, mafia birokrasi di Kementerian Agama tidak hanya menempatkan umat beragama sebagai korbannya, tetapi juga telah menyandera Pancasila dan Konstitusi sebagai rujukan Kemenag untuk mengintervensi teritorial Agama. Kementerian Agama bersifat khusus karena teritorial agama mengatur ritual dalam beribadah (Syariat) semua umat agama.
Di era otonomi saat sekarang ini, korupsi justru telah berpindah situs, dari Jakarta ke daerah-daerah. Walaupun, Jakarta masih menjadi top scorer terbesar di negeri ini. Pertanyaan yang sangat menggelitik untuk dicermati adalah, mengapa korupsi tidak bisa lenyap, bahkan semakin menggila? Mengapa Persepsi Indeks Korupsi Indonesia belum memperlihatkan perkembangan yang signifikan?
Sebagai bahan refleksi menghadapi beragam tirani kekuasaan, mafia birokrasi, korupsi, kekerasan, dll, yang getol menggandeng lembaga keagamaan, pemerintah harus konsisten dan tegas kepada siapa saja yang mau merusak moralitas negara dan agama. Sehingga tirani-tirani ngaur ngidul tidak lagi menjamur dalam wilayah religius. Sebab jika tidak, niscaya agama akan berganti nama menjadi tirani. Ya, tirani itu bernama lembaga agama!
(Oleh: Abdy Busthan)
Di Indonesia misalnya, lahirnya UU No. 1/PnPs/1965 dimaksudkan mengatur untuk pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama jo. UU No. 5 Tahun 1969 yang mengatur segala bentuk pernyataan berbagai penetapan dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang, yang lebih banyaknya dimaksudkan melindungi segala penodaan dan penyimpangan terhadap pokok-pokok ajaran suatu agama.
Berbagai perilaku korup mafia birokrasi Kementerian Agama tentu saja akan berbeda dampaknya dibandingkan birokrasi lain, karena institusi ini bersinggungan langsung dengan teritori yang sangat sensitif. Korupsi Kemenag juga berimplikasi pada pelanggaran HAM, yang secara sengaja dan terbuka menyatakan penodaan dan penistaan ajaran agama. Alhasil, mafia birokrasi di Kementerian Agama tidak hanya menempatkan umat beragama sebagai korbannya, tetapi juga telah menyandera Pancasila dan Konstitusi sebagai rujukan Kemenag untuk mengintervensi teritorial Agama. Kementerian Agama bersifat khusus karena teritorial agama mengatur ritual dalam beribadah (Syariat) semua umat agama.
Di era otonomi saat sekarang ini, korupsi justru telah berpindah situs, dari Jakarta ke daerah-daerah. Walaupun, Jakarta masih menjadi top scorer terbesar di negeri ini. Pertanyaan yang sangat menggelitik untuk dicermati adalah, mengapa korupsi tidak bisa lenyap, bahkan semakin menggila? Mengapa Persepsi Indeks Korupsi Indonesia belum memperlihatkan perkembangan yang signifikan?
Sebagai bahan refleksi menghadapi beragam tirani kekuasaan, mafia birokrasi, korupsi, kekerasan, dll, yang getol menggandeng lembaga keagamaan, pemerintah harus konsisten dan tegas kepada siapa saja yang mau merusak moralitas negara dan agama. Sehingga tirani-tirani ngaur ngidul tidak lagi menjamur dalam wilayah religius. Sebab jika tidak, niscaya agama akan berganti nama menjadi tirani. Ya, tirani itu bernama lembaga agama!
(Oleh: Abdy Busthan)
0 komentar:
Post a Comment