Keadilan, Hukum, dan Fakta Kebenaran Buat Ahok



Oleh: Abdy Busthan


Ketika vonis 2 tahun dijatuhkan kepada Ahok, sebagian kalangan yang kontra (menolak) Ahok, mungkin menilai bahwa vonis yang diberikan hakim kepada Ahok adalah cermin sebuah keadilan. Artinya Ahok memang pantas di hukum karena positif bersalah, dan sebagai akibatnya maka Ahok harus di tahan selama 2 tahun, atau mungkin—menurut mereka—bisa saja 5 tahun.

Benarkah demikian? Jika benar, lantas bagaimana persisnya gambaran hubungan keadilan dan hukum atas dakwaan kepada Ahok tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, serta demi meluruskan anggapan sebagian kalangan di atas, maka kita harus bisa membedakan secara akurat, perbedaan hukum dengan keadilan.

Hukum bukanlah keadilan. Pada prinsipnya, hukum dan keadilan itu dua hal yang sangat berbeda. Hukum hanya bagian usaha untuk meraih keadilan dalam masyarakat saja, tetapi dia tidak sama persis dengan keadilan. Sedangkan keadilan memang mencakup hukum, namun hukum bukan satu-satunya cara menciptakan keadilan. Inilah yang mestinya dipahami terlebih dahulu.

Seharusnya, konstitusi negara Indonesia ini lebih berdasarkan pada keadilan, dan bukan berdasarkan pada hukumnya. Sederhananya, keadilan untuk hukum, bukan hukum untuk keadilan. Mengapa? Sebab hukum itu sangat rentan digunakan sebagai justifikasi atau apologi untuk melindungi kepentingan-kepentingan individu serta segelintir orang. Dan memang, fakta yg sesungguhnya terjadi di negara ini adalah, bahwa hukum hanya dijadikan sebagai produk politik semata.

Terkait dengan tuntutan hukum kepada Ahok, jika saja kita berdiri dalam posisi yang netral, maka tentu kita tidak dengan serta-mertanya membenarkan tuntutan tersebut. Mengapa? Sebab, ada banyak fakta kebenaran yang tidak dimunculkan sebagai bahan pertimbangan Hakim dalam memutuskan perkara tersebut. Berikut beberapa fakta kebenaran yang tidak diperhatikan Hakim dalam mengambil keputusannya.

a. Hukum Kausalitas (Sebab-Akibat)
Kasus Ahok bisa kita kaji berdasarkan substansi hukum kausalitas, yang menegaskan: apa yang mengakibatkan apa, adalah juga sebab dari yang mengakibatkan. Dalam filsafat, kausalitas (boleh dibaca: sebab-akibat) merupakan kenyataan di mana setiap fakta peristiwa adalah yang disebabkan oleh asal, penyebab, dan prinsip. Penyebab dari suatu peristiwa B misalnya, maka ia harus memenuhi 3 kondisi berikut:


Bahwa A terjadi sebelum B.
Yang selalu terjadi adalah B.
A dan B dekat dalam ruang dan waktu.

Demikian juga dalam kajian fisika, istilah kausalitas menggambarkan hubungan antara sebab dan akibat. Khusus fisika klasik, diasumsikan bahwa semua peristiwa hanya disebabkan oleh entitas (orang) sebelumnya. Klaim ini pada tingkat tertinggi, dapat ditemukan dalam laporan seorang ahli matematika dan astronom Perancis, Pierre Simon Laplace (1749-1827), yang mengatakan bahwa, jika Anda mengetahui keadaan dunia dengan presisi, seseorang dapat memprediksi setiap peristiwa di masa depan (ke depan). Pandangan ini disebut determinisme, atau tepatnya determinisme kausal. Jadi, prinsip kausalitas mendalilkan bahwa setiap efek—semua event—datangnya dari penyebab yang mengakibatkan.

Nah, jika hukum kausalitas seperti yang dijelaskan di atas, kemudian digunakan dalam kasus Ahok, maka Buni Yani adalah sebab yang menyebabkan akibat. Penggalan video editan Yani adalah fakta kebenaran yang tidak terbantahkan untuk menyatakan bahwa Yani adalah pelaku perbuatan tidak menyenangkan tersebut.

Berdasarkan hukum kausalitas atau sebab-akibat, Yani memiliki andil besar sebagai ‘penyebab’ yang mengakibatkan. Dapat dianalogikan bahwa, Yani adalah sebab B, yang membawa akibat A menjadi B. Artinya, dialah yang menyebabkan ‘perbuatan tidak menyenangkan’ dengan mengutip dan mengurangi kata-kata Ahok dalam pidato di Kepulauan Seribu pada tahun 2016 secara tidak tepat. Sebagaimana terungkap bahwa Yani mengunggah editan video pidato Ahok di Kepulauan Seribu, disertai dengan transkipsi yang tidak sesuai dengan kata-kata Ahok. Sehingga muncul reaksi keras masyarakat yang sangat beragam kepada Ahok.

Jadi, sumber persoalannya adalah penggalan video yang mulanya berdurasi 40 menit, lalu di edit Yani menjadi potongan video berdurasi 13 detik. Video editan dengan durasi singkat inilah, yang membuat persoalan kemudian menjadi kian membesar. Bahkan menimbulkan reaksi keras masyarakat terhadap Ahok, yang pada akhirnya Ahok pun harus menerima kegagalan dalam Pilkada DKI Jakarta putaran kedua. Seharusnya, perbuatan Yani yang dapat dijadikan dasar dalam membebaskan Ahok dari perkara ini. Sebab Yani adalah sebab yang mengakibatkan, seperti ditegaskan hukum kausalitas di atas.

b. Ketentuan ‘a quo’
Jika kita harus menempatkan diri pada posisi netral, kita akan menyadari bahwa ada proses yang terlewatkan ketika Ahok menjadi tersangka dan di vonis bersalah oleh hakim di pengadilan.

Secara subtantif, kasus ini seharusnya mengacu pada Penetapan Presiden No.1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pada Pasal 2 ayat (1) peraturan a quo, disebutkan bahwa barang siapa yang melakukan penodaan agama maka diberi peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu, dalam satu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya pada Pasal 3 ditegaskan bahwa jika ketentuan pada Pasal 2 ayat (1) tidak diindahkan maka otomatis pelaku akan dipidana penjara selama-lamanya 5 tahun.

Nah, merujuk pada peraturan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa jika ada orang yang melakukan penodaan agama maka hal yang paling utama adalah diberikan “peringatan” terlebih dahulu oleh Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, yaitu dalam bentuk surat keputusan bersama. Jika orang tersebut kemudian tidak mengindahkannya, maka orang itu harus dipidanakan dengan ancaman hukuman 5 tahun.

Artinya bahwa, ketentuan a quo sesungguhnya lebih mengutamakan tindakan preventif atau pencegahan, ketimbang tindakan represif. Hal ini tentu sejalan dengan filsafat pemidanaan, yang tercantum dalam kalimat.. nemo prudens punit, quia peccatum, sed ne peccetur, yang artinya seorang bijak tidak menghukum karena dilakukannya dosa, melainkan agar tidak lagi terjadi dosa.

Jadi, jelaslah bahwa dalam kasus Ahok, kita tidak melihat sama sekali “peringatan” yang diberikan terlebih dahulu. Ahok tidak diberi peringatan keras oleh negara melalui Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Karena itu, proses hukum terhadap Ahok sesungguhnya merupakan contradictio interminis dengan peraturan a quo. Sehingga tidak memenuhi prinsip rule of law. Dengan tidak adanya peringatan keras, maka menunjukkan bahwa negara telah dengan sengaja membiarkan pelanggaran proses hukum secara objektif kepada seorang Ahok. Adilkah ini?

c. Prinsip Normatif
Harus dipahami bahwa secara normatif, karakter penodaan agama berbeda dengan tindak pidana pada umumnya. Tidak akan mungkin terdapat kerugian individu secara langsung atas penodaan agama, kecuali terganggunya ketertiban dalam beribadah dan bermasyarakat. Atas dasar inilah maka seharusnya negara mesti memberi teguran terlebih dahulu sebelum memproses seseorang terpidana dengan hukum yang berlaku.

d. Kontradiktif Putusan Hakim
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah, kita harus mengajukan pertanyaan mendasar, apakah vonis Hakim sesuai dengan dakwaan Jaksa? Sebab terdapat setidaknya tiga pertimbangan majelis Hakim yang sangat kontradiktif di sini. Berikut ulasan singkatnya.

Pertama. Majelis hakim memberikan vonis kepada Ahok 2 tahun penjara dan langsung di tahan, yaitu dengan berpedoman pada Pasal 156a KUHP.

Sebelum diputuskan, Ahok telah dituntut oleh Jaksa dengan Pasal 156 KUHP, yang berupa pidana penjara 1 tahun, masa percobaan 2 tahun. Dan tidak ditahan. Meskipun dalam dakwaannya, Jaksa menggunakan dakwaan alternatif dengan menempatkan Pasal 156a KUHP sebagai dakwaan utama dan Pasal 156 sebagai dakwaan alternatif pertama, namun dalam tuntutannya, Jaksa justru menuntut Ahok dengan Pasal 156 KUHP.

Apa artinya? Artinya Jaksa sangat menyadari, bahwa mereka tidak memiliki bukti yang akurat untuk menuntut Ahok dengan pasal penodaan agama. Tegas bahwa, dakwaan penodaan agama dalam perspektif Jaksa tidak dapat terbukti, sehingga dialihkan pada dakwaan alternatif pertama, yakni Pasal 156 KUHP.

Nah pertanyaannya, mengapa majelis hakim justru memberikan vonis kepada Ahok dengan menggunakan Pasal 156a KUHP? Sepertinya majelis Hakim berpatokan pada bukti pidato Ahok yang menyinggung Surat Al Maidah di Kepulauan Seribu sebagai alat bukti utama, yang kemudian dikuatkan dengan alat bukti keterangan ahli dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Padahal jika Hakim ini objektif, seharusnya mereka menyadari bahwa ada friksi yang sangat tajam antara pendapat ahli JPU dengan ahli dari terdakwa.

Hal lainnya lagi, terkesan bahwa majelis Hakim ini justru secara diam-diam berusaha mengkonstruksi alat bukti sendiri, yang mana sebelumnya JPU sendiri justru sudah tidak yakin dengan alat bukti yang diajukannya. Nah, inilah bukti nyata bahwa kita memang sulit melihat hukum berjalan tegak berdiri dalam kasus Ahok. Sebab sesungguhnya hukum akan berkelindan dengan intervensi politik dan kekuasaan.

Kedua. Perintah penahanan Ahok murni pelanggaran kebebasan terhadap individu. Ahok tidak bisa ditahan karena kuasa hukumnya sudah menyatakan banding. Artinya, putusan hakim belum bersifat tetap atau berkekuatan hukum tetap, sehingga Ahok belum saatnya untuk di tahan.

Hal lainnya bahwa, Majelis hakim memerintahkan agar terdakwa segera di tahan. Secara kasat mata, kita dapat melihat bahwa sejak awal Ahok sangat kooperatif dan sopan saat menghadiri persidangannya. Maka seharusnya, pada tahap penyidikan dan penuntutan, Ahok tidak harus ditahan. Lalu mengapa putusan Hakim menegaskan Ahok harus ditahan? Sekali lagi, Ahok tidak perlu ditahan! Sebab ia pejabat publik yang sulit untuk melarikan diri, serta tidak mungkin ia merusak atau menghilangkan barang bukti, apalagi mengulangi tindak pidana sebagaimana disebutkan Pasal 21 ayat (1) KUHP.

Ketiga. Kasus ini berjalan dengan irama politis. Pertimbangan yang memberatkan Ahok justru di luar akal sehat, di mana katanya, ia sebagai gubernur seharusnya tidak melakukan penodaan agama. Pertimbangan ini kelihatannya sangat kontradiktif dalam konteks tindak pidana penodaan agama. Karena justru seharusnya yang menjadi pertimbangan hakim adalah, karena Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta yang sudah banyak diakui keberhasilannya dengan segudang prestasi yang di raihnya dan jelas berprestasi membangun Ibu Kota NKRI yakni Jakarta. Hal inilah yang seharus menjadi alasan untuk meringankan Ahok, dan bukan justru membuat putusan yang sangat memberatkan.

Tentu saja, pertimbangan majelis Hakim seperti di atas memang sangat rancu, sebab pertimbangan seperti itu hanya tepat jika digunakan dalam memutus tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crimes. Dalam artian bahwa, pejabat publiknya tidak bermoral dan tidak amanah–merampok uang negara–sehingga menjadi alasan kuat untuk memberikan hukuman yang berat.

Tulisan ini di kutip dari Buku:
"esai-esai Keadilan untuk Ahok"

Penulis:
Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd.
Dr. phil. Reza A. A. Wattimena
Pdt. Dr. Mesakh A. P. Dethan., M.Th., MA.
Fransiskus Ransus, S.S., M.Hum
Suhendra, M.A.

Nomor ISBN:
978-602-6487-08-7

Tahun terbit:
2017

Nama Penerbit:
Desna Life Ministry

Kota tempat Penerbit:
Kupang

Share on Google Plus

Tentang Abdy Busthan

Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd., M.Fil., adalah Dosen dan Teknolog Pembelajaran. Pembina dan Peneliti di Jurnal Ilmiah Flobamora Science. Dibesarkan di kota Nabire, Papua.Tempat tinggal di kota Kupang NTT. Lulus pendidikan S-1 dengan predikat lulusan terbaik dan tercepat (cumlaude), hanya dengan waktu 3 tahun, yaitu di FKIP IPTH Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Pendidikan S-2 pada Magister Teknologi Pendidikan, dengan mengambil konsentrasi ilmu Teknologi Pembelajaran dan Magister Filsafat.

0 komentar:

Post a Comment