Lilin membenci Listrik


Malam itu, kegelapan menutupi jagad raya. Kegelapan ini bukanlah tanda bahwa kue-kue mau dibagikan, layaknya sebuah perayaan natal yang meriah. Kegelapan ini bukan pula sebuah “kode alam” karena terbenamnya sang mentari, demi menyongsong sang malam yang diikuti dengan kalimat “sunyi senyap”, seperti lirik pada bait pertama yang terdapat dalam syair lagu malam kudus.

Ini adalah kegelapan dalam arti yang sebenarnya! Suatu kenyataan yang apa adanya, bukan ada apanya. Ini sebuah tragedi kegelapan yang selalu hadir dan membawa tidak saja ribuan, tetapi juga jutaan caci maki! Bahkan penghancuran! Seperti yang terdengar malam ini. Dimana-mana, di atas, di samping, bahkan dibawa, semuanya menjadi gaduh! 

Kegelapan ini sungguh antagonistis dengan sumber datangnya kegelapan itu sendiri. Ini memang diluar hukum logika kegelapan! Ya, memang sesuatu yang tak mampu dinalar juga dengan prinsip-prinsip penerangan. Karena yang terjadi adalah “habis gelap, terbitlah gelap”. 

Bagaimana mungkin suatu tempat, di mana sumber penerangan itu berada, justru dengan serta-mertanya tidak menghadirkan terang? Tapi ini justru mempersembahkan kegelapan yang nyaris sempurna di bumi flobamora tercinta ini.   

Ya akhirnya, semua membenci! Semua geram! Semua meneriakkan ketidakpuasan dengan cara-cara hewani! cara-cara yang “sama persis” dengan kebun binatang! Semua pun membinatangkan diri! Melalui pikiran, perkataan, bahkan perbuatannya masing-masing.... Semua itu semata-mata, ditujukan bukan untuk kegelapan! Tetapi justru kepada biang kerok dari kegelapan itu sendiri! Ya, siapa bisa menyangka? Bahwa biang kerok semua ini adalah Perusahaan Listrik Negara alias PLN! 

Pertanyaannya, pihak mana yang bertanggungjawab? Jika tanggung jawab ini dibebankan kepada pihak PLN, maka perlu di kaji kembali beberapa hal. Apakah tarif sudah mencerminkan biaya operasi? Ataukah kebutuhan investasi yang tidak terpenuhi, dan tidak adanya economic returns yang memadai? Jawaban dari dua pertanyaan ini seharusnya dipikirkan oleh pemerintah, PLN, dan pihak-pihak terkait lainnya, mengingat dua hal ini merupakan kendala PT PLN (Persero) untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional  sekarang ini.

Jika besaran tarif saat ini sudah tidak dapat menutupi biaya operasi, maka secara aksiomatis, subsidi akan diperlukan lagi untuk menutupi biaya produksi . Sebenarnya, saat ini sangat dibutuhkan tambahan dana sebesar Rp. 210 per KWh, yaitu untuk menarik investasi agar mencapai 10% pre-tax RoA. Sebab tarif yang berlaku saat ini rata-rata sebesar Rp. 656/Kwh, sedangkan biaya operasi sejak tahun 2009 sebesar Rp. 1.122/Kwh. Maka otomatis harus ditutupi dengan subsidi. 

Bayangkan kemampuan dana PLN untuk melakukan investasi saat ini, kurang lebihnya sebesar Rp. 12.272 triliun. Sementara kebutuhan investasi rata-rata per tahunnya berjumlah Rp. 73.297 triliun. Ini ibarat pepatah, “besar pasak daripada tiang”. 

Karena itu, tidak ada cara lain lagi untuk menutupi kekurangan tersebut, selain pihak PLN melakukan pinjaman. Dan untuk mendapatkan pinjaman, maka PLN harus memiliki laba atau marjin yang diberikan oleh pemerintah. Artinya, melalui pinjaman, maka PLN bisa mendapatkan marjin untuk menjaga covenan, sehingga memiliki kemampuan keuangan dalam melaksanakan investasi  

Namun anehnya, pemerintah dan banyak pihak lainnya justru mempertahankan “subsidi”. Sebenarnya, pendapat ini sangat keliru. Sebab ini bukan suatu solusi tepat! Subsidi tidak mempengaruhi peningkatan investasi, sebab subsidi hanya mempengaruhi biaya operasi. Yang diperlukan PLN saat ini adalah marjin. Karena itu akan mempengaruhi pertumbuhan investasi. Jikapun pemerintah masih memiliki biaya dan mereka terus melanjutkan subsidinya, maka sudah saatnya tarif harus disesuaikan. 

Terlepas dari itu semua, seharusnya sustainability PLN juga diperlukan di sini. Tidak hanya dengan mencari kambing hitam dengan mendendangkan “kidung kambing” layaknya “tragoidia”, yang konon dilakukan masyarakat Yunani zaman purba, sebagai ritus keagamaan untuk menghormati Sang Dioniso.  

Karenanya, PLN sangat diharapkan untuk melakukan pengembangan di sektor kelistrikan, dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi di republik ini. Jika tidak, parade lilin akan tampil berhamburan dimana-mana, di sudut-sudut, hingga pelosok-pelosok kota, ketika sang mentari mulai terbenam di singgasananya. 

Ya, Lilin...lilin... dan lilin! Mereka akan selalu terbakar, lalu lenyap... dan meleleh-leleh. Bahkan luluh, lalu lantak ! Jika saja diijinkan untuk membenci, lilin pasti tak akan luput dari amarahnya... Lilin pasti geram! Lilin pasti memaki! Karena, Lilin membenci Listrik!

(dikutip dari Abdy Busthan dalam buku "Judulnya Belum Berjudul", 2016.)
Share on Google Plus

Tentang Abdy Busthan

Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd., M.Fil., adalah Dosen dan Teknolog Pembelajaran. Pembina dan Peneliti di Jurnal Ilmiah Flobamora Science. Dibesarkan di kota Nabire, Papua.Tempat tinggal di kota Kupang NTT. Lulus pendidikan S-1 dengan predikat lulusan terbaik dan tercepat (cumlaude), hanya dengan waktu 3 tahun, yaitu di FKIP IPTH Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Pendidikan S-2 pada Magister Teknologi Pendidikan, dengan mengambil konsentrasi ilmu Teknologi Pembelajaran dan Magister Filsafat.

0 komentar:

Post a Comment