Oleh: Abdy Busthan
Langit senja itu sedikit memerah. Awan terlihat tebal dan hitam. Sesekali hembusan angin terasa sejuk menyapa kalbu. Sepertinya, hujan akan segera turun membasahi Kota Pahlawan. Dikeramaiannya, terlihat beberapa tukang becak asik mengobrol. Mereka terlihat damai, meskipun tampak sedikit lesuh. Tampak pula beberapa penjaja koran yang sedang menghampiri tuan-tuan si roda empat.
Disudut lampu merah, yang jaraknya bersebelahan dengan Kebun Binatang, terlihat sepasang muda-mudi sedang bersenda-gurau, sedikit hangat dan mesra. Si pria tampak bersinar-sinar. Sepertinya telah terjadi peristiwa KC (Katakan Cinta) yang dilanjutkan dengan peristiwa TC (Terima Cinta) di situ. Fenomena ini memang mirip sekali dengan film Tom and Jery ketika mereka terlihat akur—meskipun akurnya cuma sedetik.
Ketika lampu jalan terlihat berwarna hijau, kami pun kembali melaju menelusuri poros jalan Darmo. Seperti biasa, mas Kadir tampak santai mengemudikan Avansa putih ini. Dia memang tak bisa diragukan lagi dalam urusan setir-menyetir mobil. Dia supir senior dan cukup menguasai kota Surabaya. Saking seniornya, kami pun beberapa kali lolos dalam urusan tilang-menilang. Bahkan saking menguasai kota Surabaya ini, kami pun beberapa kali lolos dari kejaran sirine The Polis.
Sementara tanganku meraih sebatang rokok Umild kebanggaanku, tiba-tiba saja hujan mengguyur deras, bersamaan dengan hembusan angin yang terasa kencang sekali. Hingga menghujam ke dalam kalbu. Udara pun menjadi sangat dingin. Sesekali bunyi guntur terdengar menggelegar dikejauhan.
Sejenak kami terdiam, tiba-tiba terlihat tangan bang Kadir meraih perangkat vcd mobil. Beberapa saat kemudian, terdengarlah senandung lagu yang memecahkan kesunyian kami. Sebuah aluanan lagu yang memaksa kami harus menikmatinya saat itu juga. Suatu tembang lama yang terdengar masih indah, seindah lampu-lampu jalan yang mulai bersinar terang menerangi setiap emperan jalan.
Ketika lampu jalan terlihat berwarna hijau, kami pun kembali melaju menelusuri poros jalan Darmo. Seperti biasa, mas Kadir tampak santai mengemudikan Avansa putih ini. Dia memang tak bisa diragukan lagi dalam urusan setir-menyetir mobil. Dia supir senior dan cukup menguasai kota Surabaya. Saking seniornya, kami pun beberapa kali lolos dalam urusan tilang-menilang. Bahkan saking menguasai kota Surabaya ini, kami pun beberapa kali lolos dari kejaran sirine The Polis.
Sementara tanganku meraih sebatang rokok Umild kebanggaanku, tiba-tiba saja hujan mengguyur deras, bersamaan dengan hembusan angin yang terasa kencang sekali. Hingga menghujam ke dalam kalbu. Udara pun menjadi sangat dingin. Sesekali bunyi guntur terdengar menggelegar dikejauhan.
Sejenak kami terdiam, tiba-tiba terlihat tangan bang Kadir meraih perangkat vcd mobil. Beberapa saat kemudian, terdengarlah senandung lagu yang memecahkan kesunyian kami. Sebuah aluanan lagu yang memaksa kami harus menikmatinya saat itu juga. Suatu tembang lama yang terdengar masih indah, seindah lampu-lampu jalan yang mulai bersinar terang menerangi setiap emperan jalan.
Disamping suara sang vokalis Beny Panjaitan yang terdengar merdu ditelinga, lagu ini juga menyimpan berjuta kenangan dalam kehidupan ini. Lirik lagunya memang sederhana saja. Namun, setiap lirik dalam lagu itu tak mampu terlewatkan begitu saja. Seakan membawaku kembali ke masa yang tertinggal 19 tahun dibelakang ku. Ya, lagu ini tembang kenangan, dan kenangan itu tak sanggup di usik oleh siapapun juga. Meskipun hidup ini membawa banyak sekali perubahan, namun tidak dengan lagu itu... tidak dengan setiap liriknya! Ini lagu “Gereja tua”! Lagu yang menurutku memang indah seperti pelangi, terasa manis semanis madu.
Ah, sepertinya aku memang harus terhempas sekarang! Terhempas seperti waktu itu...terhempas ke masa indah itu ... jauh ke belakang ... ! Di sana ada kamu, di sana ada manis senyummu..di sana ada indah suaramu....bahkan namamu juga terukir di sana..Hosiana, itulah kamu! Kulitmu putih, seputih salju. Matamu bersinar selaksa matahari, tubuhmu tinggi nan ramping, bagaikan sebuah gitar spanyol. Semua itu semakin menjadikan dirimu satu-satunya kaum Hawa yang paling diidamkan habitat Adam! Memang hanya kamu, cuma kamu...only you!
Kisah itu bermula di sana, waktu itu ....
Seperti biasa, tanda lonceng sekolah berbunyi. Kami pun bergegas memasuki ruangan kelas. Diana, seorang teman akrabku semasa kecil, sedang terlihat sibuk mencari sesuatu di mejanya. Bergegas aku melangkahkan kakiku menghampirinya. Namun tiba-tiba, aku dikejutkan dengan suara Udin yang terdengar seperti suara bapaknya, karena memang dia anak bapaknya.
Udin: Hey .. coy... udah liat belum? (sambil menepuk pundakku)
Saya: Liat apa nih? Sepertinya serius amat? (sedikit terkejut).
Udin: Belum lihat ya? Ada cewek Cina di kelas kita nanti.. cantik bos.. hu huiiiii ... mau sayembara gak? (sambil matanya melotot).
Saya: Apa? Yang benar nih... kalo bohong awas ya ..
Udin: Iya lah coy ... liat aja entar.
Biasanya, perkataan si Udin ini hanya lima puluh persen saja yang bisa dipercaya, selebihnya lagi, sulit didapatkan dalam kamus kebenaran manapun alias abunawas. Dia terkenal gokil di kelas kami. Orangnya cuek dan memang sedikit berantakan. Namun, kali ini sepertinya si Udin memang sedang serius. Karena pengalaman membuktikan, jika urusan menyangkut wanita, Udin memang tak pernah tidak serius. Bahkan se-tujuh kali rius pun Udin sanggup lakukan.
Udin terkenal Play boy di sekolah kami. Bahkan, di sekolah-sekolah lainnya. Disamping tampangnya yang ganteng, dia juga anak saudagar kaya. Dia akrab sekali denganku sejak SD. Orang tua kami sudah seperti saudara. Ayahnya juga sekampung dengan ayahku. Sementara Diana, teman akrabku di Sekolah Minggu. Kami satu Gereja sejak kecil. Karenanya, kami memang sering bersama-sama dari dulu. Rumah kakeknya bersebelahan dengan rumah ku. Ayahnya seorang keturunan Cina, sementara ibunya orang Tual dari Maluku. Bagiku, meskipun Diana wanita dan diriku pria, tapi dia seperti saudara di dalam hati ini. Anaknya manis dan cukup seksi. Dia juga seorang yang sangat penyayang dan perhatian.
Siang itu, teman-teman kelas B semuanya berkumpul di kelas. Suasana kelas bising dan gaduh. Semua asik bercerita..sesekali terlihat suara teriakan. Biasanya, suara teriakan itu bersumber dari dua teman wanita kami yang pintar dan periang. Teman yang pertama, bernama Permata Samaria. Dia keturunan Yahudi. Parasnya cantik, hidungnya pun mancung. Sementara bola matanya bulat bersinar.
Siang itu, teman-teman kelas B semuanya berkumpul di kelas. Suasana kelas bising dan gaduh. Semua asik bercerita..sesekali terlihat suara teriakan. Biasanya, suara teriakan itu bersumber dari dua teman wanita kami yang pintar dan periang. Teman yang pertama, bernama Permata Samaria. Dia keturunan Yahudi. Parasnya cantik, hidungnya pun mancung. Sementara bola matanya bulat bersinar.
Saking cantiknya, dia menjadi rebutan dimana-mana. Bahkan tidak banyak pria-pria yang sering terlibat adu jotos karena ingin memperebutkan dia. Dia adalah maskot kelas kami. Dia biasanya di sapa dengan sebuatan “Permen”. Namun aku sering memanggilnya dengan Samaria. Bagiku, dia sumber inspirasi di kelas kami. Tanpa kehadirannya, mungkin kelas akan terlihat seperti kuburan. Teman yang satunya lagi, bernama Damai Lawalatta. Tanggal dan bulan kelahirannya sama denganku. Wajahnya manis, dan sedikit agresif. Dia wanita cerdas dan selalu menempati ranking satu di kelas kami.
Suara kelas semakin gaduh tak terkendalikan. Tiba-tiba saja, seorang teman wanita bernama Hartati menghampiriku..
Suara kelas semakin gaduh tak terkendalikan. Tiba-tiba saja, seorang teman wanita bernama Hartati menghampiriku..
Hartati : Al, kamu tau gak kemana ibu Amir? Sudah dua hari ini dia gak masuk sekolah.. apa dia sakit ya? (sedikit terlihat bingung)
Saya: Oh ... iya, dia sedang berada diluar kota. Tiga hari yang lalu dia sempat kerumahku meminta ijin. Memang kenapa Ar?
Hartati: Begini Al... minggu lalu aku sempat salah paham dengannya. Aku pikir, dia yang meminjam buku matematikaku.. eh, ternyata buku itu terselip di lemari pakaianku... (sambil duduk di bangku kosong yang berada disebelahku)
Saya: Oh ..itu! Biasalah, entar kalo dia udah masuk, kita bicarakan baik-baik ya... (sambil memandang ke arah Hartati)
Hartati : Oke dech Al .... (sambil tersenyum)
Tiba-tiba suasana kelas pun menjadi hening. Guru matematika yang berkacamata tebal memasuki kelas. Dibelakangnya terlihat pak Kepala Sekolah dan seorang gadis berparas manis, berkulit putih. Sejenak aku terpana melihatnya. Dia sedikit tersenyum dan rileks menatap kami semua di kelas. Tidak tampak sedikit pun wajahnya gugup. Tiba-tiba, Kepala Sekolah dengan suaranya yang besar berkata memecah kesunyian...
Kepala Sekolah:
Anak-anak... hari ini kalian kedatangan teman baru yang akan bergabung bersama kalian di kelas ini. Dia pindahan dari kota Bogor. Ayo nak silahkan perkenalkan dirimu (sambil menoleh ke arah Hosiana)
Hosiana:
Hay semua...(sambil melambaikan tangannya).. Namaku Hosiana Matulessy. Panggilnya Osin aja ya... aku senang bisa berada bersama-sama kalian semuanya di sini.
Demikianlah hari itu, menjadi awal dari segalanya. Hosiana mulai memasuki ruang hatiku yang terdalam. Memenuhi alam imajinasiku, jauh ke sudut-sudut nurani, lalu menoreh goresan pelangi di dasar sanubari. Bahkan, menembus batas-batas logikaku, hingga menguraikan sesuatu yang transendental. Sejak saat itu, perasaanku mulai tergadaikan oleh putaran waktu yang memang terus berputar.
Hingga suatu hari, tepatnya jam rehat siang di sekolahku, sahabatku Anastasia yang dikenal dengan sapaan “Ibu Amir”, datang menghampiriku yang lagi duduk sendirian dilapangan basket, yaitu tepatnya di depan ruang Laboratorium.
Anastasia : Lagi ngapain Al? (sambil duduk di sebelah kananku)
Saya : Biasa, duduk-duduk aja... gimana bisnis ibumu?
Anastasia : Lumayan deh.. semuanya lancar-lancar jaya selalu..bahkan Ibu semakin menikmati bisnisnya tuh... O iya, aku ke sini ingin memberikan sesuatu buatmu...
Saya : Oh, syukurlah...sesuatu apa nih? Sepertinya serius amat..
Anastasia : Ini ada surat dari Osin (sambil mengeluarkan amplop kecil dari saku bajunya) ... Sori suratnya baru kuberikan padamu.. soalnya aku lupa Al. Sebenarnya surat ini udah dua hari yang lalu diberikan Osin padaku .....
Ketika mendengar nama yang disebutkan Anastasia ini, pikiranku mulai berkecamuk. Sebab sudah dua hari ini Osin tak masuk sekolah tanpa kabar. Biasanya, tak seperti ini, sebab dia selalu datang tepat waktu ke sekolah. Bahkan sudah dua hari ini, pikiranku gelisah memikirkan dia. Ada apa dengannya? Lalu aku menerima amplop itu...
Anastasia : Udah dulu ya... aku ke mau kantin.. soalnya mau ketemu Aryati (berdiri dan meninggalkanku)
Saya : Oke deh... makasih ya..!
Tak sabar ingin cepat-cepat melihat tulisan dalam amplop itu, akupun segera membukanya. Lalu perlahan aku membacanya ........
“Tulisan ini sebenarnya sekedar pemberitahuan. Tapi setelah aku menulisnya, justru menjadi ungkapan perasaanku. Seharusnya ku beri judul di atasnya. Namun rasanya, aku tak sanggup memberikan judulnya. Tapi, kalaupun kamu bisa memberikan judulnya, aku pikir tak perlulah di tulis di situ. Cukup tuliskan judul itu dihatimu.
Sejak papiku dipindahkan dari kota Bogor tiga bulan yang lalu, kita sering bersama. Bahkan di kelas, kita duduk semeja. Saking selalu bersama, kita akhirnya sering bertengkar selama ini. Walaupun cuman kecil-kecilan. Kamu pasti tau itu.
Kamu tau gak, jika kebersamaan kita selama ini sangat menyiksaku. Hingga suatu hari, aku mencoba untuk berhenti memikirkannya. Tapi itu tak sanggup... dan memang tak bisa...aku memang tak dapat melakukannya. Aku tak tahu apa yang kamu rasakan ketika sedang bersamaku. Aku juga tak tahu, apakah aku cukup menyenangkan, atau apalah itu namanya, dan tak perlu juga ku mencari tahu itu.
Tapi, kamu harus tahu perasaanku ini. Dan memang seharusnya kuberitahu padamu. Ya, aku sering cemburu ketika melihatmu bersama teman-teman wanita yang lain. Aku tak tahu apakah itu adil? Tapi jujur, itu yang kurasakan.
Ale, empat hari yang lalu kita sempat berdua ketika usai kerja kelompok di rumah Haryati. Berdua kita berjalan menelusuri emperan jalan. Kala itu hujan rintik-rintik. Lalu tiba-tiba, kau menggenggam tanganku, dan mengajakku berteduh di suatu bangunan tua, yang belakangan ini baru ku tahu itu sebuah Gereja tua yang tak terpakai lagi.
Tiba-tiba seekor kucing mengagetkanku hingga aku takut sekali. Ketakutanku ini membuatmu memeluk tubuhku erat-erat, lalu bersandar di tiang bangunan itu. Tiba-tiba, tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, kau menciumku di bibir, hangat sekali.. lalu..kau membelai rambutku. Oh, kejadian itu begitu indah.. dan rasanya ingin terulang lagi setiap saat.
Jujur, aku bahagia. Aku senang sekali. Aku bahkan selalu teringat akan peristiwa itu. Mungkin tak berarti bagimu, tapi bagiku sungguh berarti. Itu sebuah kejadian yang indah selama aku hidup sampai saat ini. Bahkan mungkin sampai tua nanti
Ale, masih ingatkah dirimu tentang beberapa pertanyaan yang sempat kutanyakan padamu?
Ale, masih ingatkah dirimu tentang beberapa pertanyaan yang sempat kutanyakan padamu?
Ketika itu hujan mulai redah, dan kita pun bergegas meninggalkan Gereja tua itu... lalu aku sempat bertanya, “apa yang kau rasakan saat mencium bibirku? Saat memelukku? Saat kau membelaiku? Cinta kah itu? Sayang kah? Atau itu hanya sekedar gerak refleks yang umumnya di lakukan para pria ketika berdekatan dengan seorang wanita?”.
Dan saat itu kau menjawabnya.... “aku tak sanggup menjawabnya, sebab aku tak punya alasan untuk menciummu! Aku tak punya alasan untuk membelai dan memelukmu, sebab aku menyayangimu dengan tulus apa adanya”...ya, begitulah jawabanmu yang ku ingat.
Ale, pertanyaanku dan jawabanmu itu membuat kita menjadi sepasang kekasih di alam ini. Persahabatan kita berubah menjadi cinta. Walaupun kejadiannya baru berlangsung empat hari yang lalu, namun itu sangat berarti bagiku. Itu tersimpan dalam satu ruang dalam hatiku, dan akan ku jadikan ia menjadi abadi di situ. Cuma aku, dan kamu yang tahu itu!
Ale, ketika aku menulis surat ini, aku sedang mengemas barang-barangku dengan berlinang air mata. Papiku dipindahkan ke pulau Kalimantan. Sebentar sore jam 16.00 WIT, kami harus pergi meninggalkan kota ini. Itu artinya, aku harus pergi jauh darimu. Hari ini juga!
Maaf jika aku tak sempat memberitahukanmu sebelumnya.. maaf Ale.. ini kejadian yang memang sudah menjadi bagian keluarga kami. Semuanya tiba-tiba... dan selalu mendadak... Papi juga tak pernah merencanakan ini...sebab yang papi bisa lakukan, hanyalah taat, patuh, dan hormat pada atasannya.
Ale, rasanya ini sesuatu yang tak adil! Ini tak harus begini! Aku gak mau begini! Aku tak sanggup pergi.... dan tak ingin menjauh darimu...Aku ingin di sini, saat ini .. dan selamanya... Aku sayang banget denganmu, sayaaaaang sekali ...
Jaga dirimu baik-baik ya..
Jaga dirimu baik-baik ya..
Ale, agar aku tahu, bahwa aku menempati ruang spesial dalam hatimu itu, aku mau meminta satu hal darimu. Tolong berjanjilah dihatimu...demi aku... demi kita... berjanjilah saat kau membaca surat ini....saat kau membaca kata-kata ini...., bahwa jika suatu hari nanti, kita bisa bertemu lagi, kau harus menunjukkan surat ini padaku, tapi dengan balasannya sebuah puisi untuk ku. Ya, tulislah sebuah puisi untukku... Judulnya tak perlu diberi judul. Tuliskan saja judulnya dihatimu, dengan judul, “Judulnya belum Berjudul”
Namun tiba-tiba saja.... aku tersentak, kurasakan sebuah tangan memegang pundakku. Akupun melihat ke arah tangan itu, kulihat wajah Bang Kadir sedang membuka pintu mobil, dan mengucapkan sepatah kalimat... “Kita sudah tiba di Bandara Juanda pak”!
Demikianlah secarik goresan ini. Judulnya belum berjudul.. sebab hingga detik ini pun, saya tak sanggup memberikannya sebuah judul! Ya, jika kamu bertanya, apa judulnya? Memang belum berjudul!
by. Osin
Sejenak aku terdiam. Perasaanku terkapar resah. Terlintas dibenakku, dunia ini tak adil, dan memang tak pernah ada keadilan di sini. Lalu ku coba berdiri, dan berlalu diteriknya sang mentari siang itu ...
Namun tiba-tiba saja.... aku tersentak, kurasakan sebuah tangan memegang pundakku. Akupun melihat ke arah tangan itu, kulihat wajah Bang Kadir sedang membuka pintu mobil, dan mengucapkan sepatah kalimat... “Kita sudah tiba di Bandara Juanda pak”!
Demikianlah secarik goresan ini. Judulnya belum berjudul.. sebab hingga detik ini pun, saya tak sanggup memberikannya sebuah judul! Ya, jika kamu bertanya, apa judulnya? Memang belum berjudul!
*****
Cerpen ini di kutip dari buku:
Judul: JUDULNYA BELUM BERJUDUL
Penulis: Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd
Tahun Terbit: 2016
Nomor ISBN: 978-602-74190-2-5
Penerbit: Desna Life Ministry
Alamat Penerbit: Kupang
0 komentar:
Post a Comment