Toleransi versus Intoleransi dalam Demokrasi


Oleh: Abdy Busthan

Setiap perubahan yang terjadi dalam masyarakat, setidaknya membentuk warna-warni dalam berbagai aspek kehidupan. Baik itu aspek ekonomi, budaya, psikologi, agama, dan lain sebagainya. Warna-warni kehidupan ini memang harus terjadi dalam satu garis lurus kehidupan masyarakat plural (jamak)—lebih dari satu. Ini adalah kenyataan aksiomatis.

Kendati demikian, dalam kemajemukan masyarakat Indonesia, warna dan warni kehidupan ini tidak dengan serta-mertanya dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sebab perbedaan demi perbedaan yang muncul, bertendesi membentuk apa yang kita kenal dengan “konflik”. Ini sangat beralasan! Mengingat berbagai konflik horizontal bahkan vertikal, kerapkali datang menghancurkan tatanan kehidupan bersama.

Ironisnya, dalam derajad tertentu, tidak jarang negara terjebak dalam kontrolnya yang berlebihan atas kehidupan beragama. Akibatnya, instrumen hukum pun menjadi rentan terhadap sesuatu yang multi-tafsir dan multi-spekulatif. Dampaknya adalah bahwa hukum agama kerapkali ditinggikan di atas hukum sipil yang semestinya bebas dari bias agama.

Sepanjang sejarah peradaban manusia, rangkaian konflik akibat perbedaan agama memang menjadi kenyataan yang sulit terhindarkan. Perbedaan, yang sejatinya bisa menjadi roh kemajuan sebuah peradaban, justru menjelma sebagai lahan subur bagi bertumbuhnya pohon kekerasan, yang memecah belah umat beragama hingga berujung pada tragedi berdarah dan memakan banyak korban. 

Dimana-mana kehidupan pun terasa penuh dengan ketegangan dan kecurigaan terhadap sesama. Umat tidak lagi melihat perbedaan agama sebagai sesuatu yang perlu dihargai melalui toleransi yang mendalam, tetapi perbedaan justru menjadi muara tempat mengalirnya intoleran yang sangat anarkistis. Pada titik ini, perbedaan akhirnya disingkirkan demi menegakkan prinsip Jihad yang tidak mengikuti Sunnah Rasul. 

Intoleransi pun menyebar dalam bentuk kebencian, rasisme dan diskriminasi dalam berbagai wujud. Dalam keadaan demikian, maka sejatinya esensi “toleransi” dalam kehidupan bersama mesti didengungkan, sekaligus dimaknai kembali. 

Pemahaman Toleransi
Secara etimologis, kata “toleransi” berasal dari kata “tolerare” dalam bahasa Latin, yang artinya: “dengan sabar membiarkan sesuatu”. Kemudian pengertian ini berkembang secara luas menjadi suatu sikap atau perilaku manusia yang tidak menyimpang dari aturan yang berlaku di masyarakat, dimana seorang di tuntut untuk bisa menghargai atau menghormati setiap tindakan yang dilakukan orang lain (Busthan Abdy, 2017:20-21).

Seorang sejarawan politik Amerika, Zagorin Perez (2003), menjelaskan bahwa, toleransi adalah membiarkan orang lain berpendapat lain, melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita, tanpa kita ganggu ataupun intimidasi. Istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. 

Contohnya toleransi beragama, dimana para penganut mayoritas dalam masyarakat, harus menghormati keberadaan agama atau kepercayaan lain yang berbeda dengannya. Disamping itu, istilah toleransi dapat pula didefinisikan sebagai “kelompok” yang lebih luas, misalnya partai politik, orientasi seksual, dll.

Rainer Forst (2003), filsuf dan ahli politik asal Jerman, merumuskan empat tingkatan toleransi dalam bukunya yang berjudul “Toleranz im Konflikt: Geschichte, Gehalt und Gegenwart eines umstrittenen Begriffs”, yaitu sbb:

Erlaubnis, adalah tingkatan pertama yang “sekedar membiarkan ada” atau menerima “kehadiran” orang lain. Pada tingkatan awal ini, kelompok mayoritas hanya sekedar membiarkan adanya kelompok minoritas, dengan segala budaya dan cara hidupnya, tanpa pemahaman yang mendalam. Di tingkat ini, hubungan kekuasaan yang tidak adil masih amat terasa, namun setidaknya ada “penerimaan” akan kehadiran orang lain yang berbeda.

Koexistenz, adalah tingkat kedua yang adalah “berada bersama”, yaitu muncul dan terjalin hubungan yang setara dan beradab antara kelompok-kelompok yang berbeda budaya dan cara hidup.

Achtung, adalah tingkatan ketiga, yang ditandai dengan terjalinnya hubungan yang berpijak pada rasa hormat terhadap orang lain. Pada tingkatan ketiga ini, berbagai kelompok yang berbeda akan melihat satu sama lain sebagai setara (Gleichheit) dalam hal moral dan budaya.

Anerkennung, adalah tingkatan tertinggi, yang lebih merupakan tingkat pengakuan dan penghargaan terhadap keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan. Termasuk didalamnya pengakuan dan penghargaan pada perbedaan budaya dan cara pandang di dalam bidang agama, politik dan ekonomi.

Rumusan empat tingkatan toleransi yang di gagas Forst di atas, saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Setiap tingkatannya berpijak pada tingkatan lainnya. Sederhananya, toleransi harus dimulai dari penerimaan akan keberadaan orang lain terlebih dahulu, hingga mencapai pengakuan dan penghargaan yang mendalam pada setiap perbedaan yang dihadirkan orang lain. 

Prinsip mendasar toleransi adalah bahwa kita tidak akan mungkin menghargai orang lain (anerkennung) tanpa terlebih dahulu menerima (erlaubnis), menjalin hubungan (koexistenz), dan menjadi setara dengan yang lain (achtung). Singkatnya, setiap perbedaan yang dihadirkan orang lain, haruslah di hargai dalam tatanan kehidupan bersama. Jika tidak, toleransi sulit mendapatkan tempat untuk bersemayam di situ. 


Demokrasi Minus Toleransi 
Istilah “demokrasi” berasal dari kata Yunani, yaitu dengan penggabungan dua katanya: demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), sehingga demokrasi adalah kekuasaan oleh rakyat. Sederhananya, apapun yang terjadi, rakyat adalah penentu kekuasaan. Pada titik ini, kesetaraan dan keterbukaan merupakan hal urgen yang harus dilaksanakan.

Menurut Busthan Abdy (2017:24), bahwa teori demokrasi selalu berdiri pada satu garis start yang sama, yakni kesetaraan diantara insan manusia. Setiap individu, dalam dirinya, mempunyai harkat dan martabat yang tetap sama. Karenanya, setiap orang berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum yang setara. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara orang kaya atau orang miskin, pria atau wanita, kulit putih atau hitam, bahkan agama minoritas atau agama mayoritas. Dari kesetaraan tersebut, selanjutnya lahirlah sebuah keterbukaan. 

Dalam transisi demokrasi dunia, negara Indonesia disamping negara Turki, selalu dianggap sebagai “maskot” dari perkembangan demokrasi yang berjalan dalam iklim mayoritas penduduk Muslim. Anggapan ini bisa benar, tetapi bisa juga tidak. Benar, jika demokrasi itu berjalan dengan semestinya, tanpa adanya diskriminasi suku, agama, status sosial dan lain sebagainya. Tidak benar, jika terjadi hal sebaliknya, di mana diskriminasi suku, agama, status sosial dan lain sebagainya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun, fakta realitas tentang pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara (baca: demokrasi) ini rasanya bagaikan seorang menulis di atas air. 

Bagaimana tidak, demokrasi Indonesia ibarat emblem kosong yang tak bermakna. Ya, demokrasi terlihat berjalan tanpa toleransi! Demokrasi tidak menyentuh sisi terdalam tentang bagaimana manusia harus beradaptasi dengan hal-hal yang berbeda dengannya. Pada keadaan seperti begini, kebebasan hak dan kewajiban pun dimarjinalisasikan dengan nyaris sempurna. 

Demokrasi, menurut filsuf Karl Popper (1957) dalam bukunya berjudul Open Societies and Its Enemies, adalah masyarakat terbuka. Ia akan menentang segala bentuk pemaksaan, baik menggunakan suap ataupun todongan senjata. Ia akan memberikan ruang kehidupan untuk semua orang, apapun latar belakangnya. 

Dalam masyarakat demokratis di negara Indonesia, dua prinsip di atas terus berada dalam ancaman. Manusia kerapkali di dibeda-bedakan menurut ras dan agamanya. Yang satu lebih tinggi daripada yang lain. Orang-orang dengan latar belakang tertentu juga tidak bisa terlibat di dalam pemerintahan, semata karena ras, agama ataupun keyakinan politiknya yang berbeda. 

Sebut saja persoalan diskriminasi yang di sertai aksi rasisme terhadap sejumlah mahasiswa asal Papua di Surabaya dan Malang yang terjadi bulan lalu. Tindakan persekusi serta rasisme terhadap mahasiswa Papua yang dilakukan beberapa kalangan ini, sebenarnya sudah menghancurkan tatanan nilai-nilai kebersamaan di medan merdeka ini! 

Seharusnya perbedaan ras di junjung tinggi dalam iklim demokrasi di negara ini. Namun justru rasisme dialami oleh masyarakat Papua secara fisik, ekonomi, perilaku, serta cara pandang masyarakat terhadap orang Papua.

Ya, rasisme ini terjadi karena adanya generalisasi atau stereotype negatif masyarakat terhadap orang Papua seperti: “tidak berpendidkan”, “tukang mabuk”, “kasar" dan lain sebagainya. Stigma inilah yang kemudian menimbulkan kecurigaan mendalam, dan berpotensi dijadikan legitimasi bagi oknum masyarakat atau aparat untuk melakukan tindakan rasisme terhadap ras dan suku Papua.

Hal lainnya lagi, tentu masih teringat di ingatan kita, Basuki Tjahya Purnama, alias Ahok, yang pada tahun 2017 di demo oleh kelompok FPI karena berasal dari etnis dan agama minoritas. Orang keturunan Cina nyaris tak mungkin terlibat di dalam politik guna mempengaruhi pembuatan keputusan politik. 

Orang beragama minoritas juga nyaris tak dapat terlibat di dalam sistem pemerintahan negara, apalagi menjadi pemimpin di negeri ini. Inilah diskriminasi terstruktur. Ya, diskriminasi adalah udara sehari-hari yang selalu saja dihembus oleh kelompok minoritas di Indonesia, mulai dari ras minoritas, agama minoritas, sampai dengan kaum wanita, yang juga tergolong dalam minoritas. 

Kedua fenomena di atas, adalah contoh dari sekian banyak fenomena yang melukiskan wajah demokrasi Indonesia. Sebuah demokrasi yang konon ‘katanya’, datang dengan segelintir harapan akan persamaan hak dan kewajiban. Juga yang ‘katanya’ hadir dengan kesetaraan dan keterbukaan akan perbedaan dari keragaman suku, etnis, budaya, adat istiadat, serta agama dalam masyarakatnya. 

Namun kenyataannya, semuanya ini hanya fatamorgana semata. Harapan demi harapan seakan redup dalam bayang-bayang intoleran dari kelompok-kelompok yang haus akan kekuasaan. Bahkan lenyap oleh diskriminasi kekuasaan dari kolaborasi sang penguasa dan si pengusaha sebagai habitat utama dalam negara ini.

Jika saja, toleransi dikembalikan kepada tempat asalnya (baca: makna sebenarnya), maka ia akan selalu menjadi sebuah keniscayaan yang terus dikobarkan di medan merdeka ini. Sehingga bukan tidak mungkin bangsa ini akan tetap terkenang dengan kemakmuran dalam keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.


Dikutip dari buku:
Judul: Negara bukan Agama! Agama bukan Negara!  (halaman 19-26)
Penulis: Abdy Busthan
Tahun terbit: 2017
ISBN: 978-602-6487-05-6 
Penerbit: Desna Life Ministry
Kota Penerbit: Kupang

Share on Google Plus

Tentang Abdy Busthan

Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd., M.Fil., adalah Dosen dan Teknolog Pembelajaran. Pembina dan Peneliti di Jurnal Ilmiah Flobamora Science. Dibesarkan di kota Nabire, Papua.Tempat tinggal di kota Kupang NTT. Lulus pendidikan S-1 dengan predikat lulusan terbaik dan tercepat (cumlaude), hanya dengan waktu 3 tahun, yaitu di FKIP IPTH Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Pendidikan S-2 pada Magister Teknologi Pendidikan, dengan mengambil konsentrasi ilmu Teknologi Pembelajaran dan Magister Filsafat.

1 komentar: