Menurut Busthan Abdy (2016:26), makna pendidikan dalam kajian yang lebih umum adalah pembelajaran, pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian, dll.
Secara etimologis, kata ‘pendidikan’ berasal dari kata dasar ‘didik’, yang kemudian ditambahkan imbuhan pada awal kalimat, yaitu (‘pe’) dan imbuhan pada akhir kalimatnya, yaitu (‘an’), sehingga membentuk kata “pen-didik-an=pendidikan”. Sementara kata kerja ‘mendidik’, mengandung pengertian membantu anak untuk dapat menguasai beberapa pengetahuan, keterampilan, perilaku, sifat dan sikap serta nilai-nilai yang diwarisi dari lingkungannya, yakni dalam keluarga dan masyarakat.
Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain yang lebih dewasa, tetapi juga memungkinkan secara otodidak. Itu sebabnya, pendidikan berlangsung melalui dan di dalam pergaulan, namun hal yang terpenting menurut Winkel W. S (2009:27) bahwa, tidak setiap pergaulan antara orang dewasa dan anak, dengan sendirinya, bersifat “pedagogis” (mendidik). Sebab itu, pergaulan akan bersifat mendidik, apabila pendidik bermaksud dan berusaha untuk mempengaruhi anak-anak, demi perkembangan anak itu, sehingga pendidik pun mempunyai wewenang terhadap anak itu.
Karenanya, lanjut Winkel (2009:ibid), bahwa pendidikan adalah bantuan yang diberikan orang dewasa kepada orang yang belum dewasa, agar dia mencapai kedewasaan. Bantuan yang diberikan pendidik (orang dewasa) itu berupa pendampingan, yang menjaga agar anak didik belajar hal-hal yang positif sehingga sungguh-sungguh menunjang perkembangannya. Sehingga, cara belajar anak, dapatlah diarahkan dan tidak dibiarkan berlangsung sembarang tanpa tujuan. Tuntutan itu diberikan dengan pergaulan pedagogis pada anak, yaitu pergaulan yang bersifat mendidik.
Untuk dapat memberikan pemahaman akan batasan-batasan pendidikan ini, berikut terdapat sejumlah pengertian pendidikan yang pernah dikemukan oleh beberapa ahli terkenal dalam dunia pendidikan, yaitu:
a. Yesus Kristus (Guru Agung)
Menurut Yesus Kristus, pendidikan adalah suatu aktivitas yang ditimbulkan oleh Kasih (stimulus), dan ditanggapi (direspon) dengan segenap (1) hati dan jiwa (afektif), tercermin melalui (2) perbuatan (psikomotorik), serta disempurnakan oleh (3) akal budi (kognitif). Urutan ini tak dapat dibalik, karena proses pendidikan haruslah mengedepankan sisi afektif yang terukur melalui segenap perasaan dan jiwa, yang teradi secara otomatis—dengan sendirinya, melalui tindakan nyata (perbuatan), dan berakhir pada cara berfikir (otak—olah pikiran); (Lukas 10:27).
b. Raja Salomo (Raja Terkaya di dunia)
Konsep pendidikan yang di usung Raja Salomo adalah konsep pendidikan yang dimulai dengan Sang Pemberi ‘hikmat’ itu sendiri, yaitu Tuhan. Karena dengan hikmat yang dari Tuhan, maka Salomo mendapatkan apa saja yang di inginkan semasa kehidupannya di dunia ini. Sebagaimana tertulis: “Takut akan Tuhan adalah permulaan ilmu pengetahuan” (Amsal 1:7). Menurut Raja Salomo, bahwa pengertian pendidikan adalah takut dalam lingkup makna ‘kesetiaan’ kepada Tuhan. Singkatnya, pendidikan adalah usaha yang dilakukan secara sadar didalam hikmat, untuk melakukan perintah dan kehendak Tuhan.
c. Paul Dennison (Penemu Brain Gym me)
Menurut Paul E Dennison (2008: xiii, 3), pendidikan adalah gerakan ativitas yang spesifik dan sadar, yang dimasukkan ke dalam kehidupan sehari-hari, melalui gerakan Brain Gym, yaitu terdiri dari beberapa gerakan-gerakan terintegrasi kontralateral yang menuntut keseimbangan, yang secara mekanis mengaktifkan kedua hemisfer otak melalui korteks motorik dan korteks sensoris, untuk merangsang sistem (keseimbangan) vestibular, mencari keseimbangan, dan mengurangi mekanisme “melawan atau lari”. Dalam keadaan seimbang ini, lebih mudah seseorang untuk berpikir, memahami, dan muncul dengan ide-ide dan solusi baru.
d. Albert Einstein (Ilmuan Jenius Dunia).
Dalam pemahaman konsep pendidikan, Einstein menyatakan bahwa pendidikan secara keseluruhannya tidak harus dilakukan hanya dengan bantuan pengetahuan yang ada saja, tetapi lebih pentingnya adalah dengan bantuan “suara batin” dan kekuatan dari “imajinasi” yang berfokus pada “realitas” nyata—kenyataan yang dialami masing-masing pelaku pendidikan. Untuk hal ini, maka terdapat beberapa konsep defenisi pendidikan Einstein yang dapat diuraikan berikut ini:
Pertama. “Education is what remains after one has forgotten everything he learned in school”. Dalam pemahaman bahwa, pendidikan akan membawa seseorang untuk mengingat hanya pada apa yang telah dipelajari oleh dirinya sendiri, yaitu pada saat ia sedang atau sementara mempelajarinya saja. Tetapi ketika bertahun-tahun berlalu, maka ingatan seseorang tentang segala sesuatu yang dipelajari di sekolah tersebut, akan perlahan-lahan terhapus. Namun jika hal yang dipelajarinya itu dilakukan atau terlibat langsung melalui “pengalaman” pribadi, maka sudah pasti pendidikan yang didapatkan tersebut, akanlah tetap bersamanya selamanya—tidak mudah terlupakan. Singkatnya, pendidikan yang sangat baik, haruslah diberikan melalui sebuah universitas kehidupan (Busthan Abdy, 2014:73).
Kedua. "Never regard study as a duty, but as the enviable opportunity to learn to know the liberating influence of beauty in the realm of the spirit for your own personal joy and to the profit of the community to which your later work belongs", dalam arti bahwa seorang tidak boleh menganggap pendidikan hanya sebagai sebuah kewajiban saja, tetapi lebih dari pada itu, pendidikan seyogyanya dijadikan kesempatan untuk dapat belajar. Hasilnya tentu bisa dengan mudah mempengaruhi orang lain karena sudah menjadi “panutan” yang baik untuk di tiru, dan merasakan sesuatu yang membebaskan dengan indah di alam ruh, serta menghasilkan sukacita pribadi dalam diri sendiri serta menguntungkan di masyarakat (Busthan Abdy, 2014:ibid).
Ketiga. Pendidikan dalam keberlangsungannya di sekolah, jika tanpa dukungan dari “pengalaman dan reliatas pribadi dari individu”, maka hanya menghasilkan guru-guru dalam kelas yang mirip seperti Sersan, dan di gedung olahraga juga mirip seperti Letnan (Schwartz Joseph & Mcguinness, 2004).
Keempat. Dalam dunia pendidikan di sekolah, komentar kritis siswa harus diterima dengan semangat persahabatan. Karena itu maka dengan bertumpuknya bahan pelajaran disekolah, seharusnya ini tidak dijadikan untuk menindas kemerdekaan siswa. Sebab keunggulan kompetitif sebuah masyarakat bukanlah hasil dari seberapa bagusnya sekolah untuk dapat merangsang imajinasi dan kreatifitas. Sehingga kredo yang elegan dan sekaligus menarik adalah alam yang merupakan realisasi gagasan matematis paling sederhana yang dapat dipikirkan. Karena itu, realitas adalah sebuah teori yang nantinya akan dapat mewakili berbagai hal itu sendiri, dan bukan sekedar propabilitas kejadiannya (Isaacson Walter, 2013: dalam Busthan Abdy, 2016).
Kelima. Keseluruhan dari ilmu pengetahuan, tidaklah lebih dari penyempurnaan pemikiran sehari-hari. Karena imajinasi itu lebih sangat penting dari pengetahuan. Sehingga persoalan-persoalan pendidikan adalah menemukan masalah yang tepat, memecahkan polanya, melanggar aturannya dan tumbuhkan solusinya (Thorpe Scott, 2002: 24,26,73).
e. Jean Piaget (Pakar Kognitif & Konstruktifistik)
Menurut Jean Piaget dalam Busthan Abdy (2014), pendidikan adalah suatu usaha untuk menghasilkan dan mencipta (sekalipun tidak banyak—sekalipun juga suatu penciptaan menjadi dibatasi pembandingan dengan penciptaan yang lain).
Pandangan di atas memberi makna bahwa pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dalam sepanjang hidup. Sehingga, dapat dipahami bahwa, dalam pengertian yang mencakup semuanya, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usahanya mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Dengan demikian, pendidikan adalah sesuatu yang universal, dan berlangsung terus menerus dari generasi ke generasi dimana pun di dunia ini. Kemudian upaya mengubah manusia melalui pendidikan ini, dapat dilaksanakan sesuai pandangan hidup dan dalam setiap latar belakang sosial—kebudayaan masing-masing insan manusia dalam kehidupan yang bermasyarakat.
Karena itu, meskipun pendidikan itu universal, namun tetap terjadi perbedaan-perbedaan tertentu sesuai dengan pandangan hidup dan latar belakang dari sosial kebudayaan masing-masing individu (Busthan Abdy, 2014).
f. Yusufhadi Miarso (Bapak TEP Indonesia).
Sebagai pendiri bidang kajian Teknologi Pendidikan (TEP) di Indonesia, tiga dari enam konsepsi pendidikan yang pernah di gagas Yusufhadi Miarso (2009:9-10) adalah sebagai berikut ini:
Pertama. Pendidikan dapat berlangsung kapan dan dimana saja, yaitu pada saat dan tempat yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan anak didik. Selama ini tradisi telah mengajarkan bahwa konsep pendidikan (formal) adalah kehadiran seseorang secara penuh pada sekolah atau lembaga pendidikan lain sekitar 6 jam sehari selama 260 hari setahun. Bila pendidikan itu diartikan sebagai belajar pengalaman, maka pendidikan itu akan berlangsung sepanjang manusia jaga dan siaga—awake and alert. Padahal sekolah hanyalah satu diantara sekian kesempatan anak didik untuk memperoleh pengalaman yang dapat mengakibatkan belajar.
Kedua. Pendidikan dapatlah berlangsung secara mandiri (independent) dan dapat pula berlangsung secara efektif dengan dilakukannya pengawasan dan penilikan berkala. Prinsip ini mengandung arti bahwa pendidikan tidak harus berlangsung dalam kelompok dengan pengawasan terus-menerus dari seseorang pada tempat yang tertentu, misalnya dalam ruangan kelas. Pengawasan secara tradisional merupakan monopoli guru atau administrator sekolah juga nantinya akan mengalami perubahan dengan adanya pengawasan terhadap berlangsungnya kegiatan belajar oleh orang (dewasa) atau anggota masyarakat yang lainnya. Prinsip ini juga mengandung arti bahwa titik berat pengawasan tidak pada proses melainkan pada hasilnya
Ketiga. Pendidikan dapat berlangsung secara efektif, baik didalam sebuah kelompok yang homogen, heterogen, maupun perseorangan (individualized). Prinsip ini mengandung pengertian bahwa pengelompokkan anak-anak sekitar 30-40 orang atas dasar homogenitas, yang selama ini kita pakai secara “standar” akan mengalami perubahan. Pengelompokkan akan dapat lebih besar hingga ratusan, bahkan ribuan dengan memakai media massa dan disamping itu dapat juga secara perseorangan. Konsep ini juga mengandung arti bahwa dalam satu lokasi (kelas) dan di bawah pembinaan seseorang (guru) dapat berlangsung kegiatan belajar secara berkelompok dengan anggota kelompok yang heterogen, baik dalam umur, tingkat, dan macam belajarnya.
g. John Dewey (Bapak Pendidikan Amerika)
Bagi John Dewey, pendidikan adalah hidup itu sendiri. Dan hidup ini bukan hanya perkara hidup personal saja, tetapi secara luas menyangkut kehidupan masyarakat itu juga. Beberapa defenisi pendidikannya adalah sebagai berikut:
Pertama. Pendidikan merupakan keniscayaan yang dapat terjadi secara alami—bersifat alam—wajar, dalam batasan sosial yang berlangsung dalam masyarakat, serta memiliki nilai dan makna untuk membimbing kebiasaan hidup generasi lama yang berbeda dengan generasi baru, serta menjadi tanda suatu perkembangan peradaban dari suatu masyarakat.
Kedua. Pendidikan adalah usaha menjaga keberlangsungan masyarakat itu sendiri. Mengapa masyarakat perlu mendidik dirinya sendiri? menurut Dewey, perubahan yang terjadi dalam masyarakat pasti ada dan tak terhindarkan. Pandangan ini sebenarnya tidak terlepas dari pemikiran filsafatnya mengenai realitas yang dipandangnya selalu mengalir.
Ketiga. Pendidikan menjadi sebuah proses pembaharuan secara terus-menerus, demi kelangsungan masyarakat dan anggota-anggotanya, melalui keterampilan, tehnik, kreativitas, dan sebagainya. Dimana sebuah pembelajaran bisa terus disampaikan, dikomunikasikan seturut dengan keadaan yang dihadapi (pemikiran progresivisme)
Keempat. Pendidikan adalah pembentukan manusia baru melalui perantaraan karakter dan fitrah, serta dengan mencontohi peninggalan-peninggalan budaya lama masyarakat.
Kelima. Pendidikan adalah suatu proses yang berlangsung terus-menerus dalam membangun kembali pengalaman dengan tujuan untuk memperluas dan memperdalam isi sosial, agar melaluinya, setiap individu memperoleh kontrol atas metode-metode yang terlibat
Keenam. Dalam pengertian pendidikan dari sudut pandang pragmatis, menurut Dewey, suatu pengetahuan itu benar apabila pengetahuan itu berguna dalam memecahkan masalah kehidupan. Jadi mengandung nilai praktis. Pendidikan kemudian memiliki 2 aspek penting, yakni aspek psikologis dan aspek sosiologis. Aspek psikologis artinya tiap anak mempunyai daya-daya atau potensi yang harus dikembangkan. Aspek sosiologis adalah bahwa perkembangan daya atau potensi itu diarahkan agar bermanfaat dalam kehidupan sosial
h. Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional).
Ki Hajar Dewantara memang mendapatkan tempat yang cukup dihormati oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia, bukan karena gelar akademis ataupun karena geneologisnya. Tapi karena integritas, totalitas, loyalitas komitmennya untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari berbagai situasi tiranik yang dehumanistik serta mencerdaskan bangsa sebagai bangsa bermartabat (Samho Bartolomeus, 2013). Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah sebagai berikut:
Pertama. Pendidikan merupakan suatu daya upaya untuk memajukan budi pekerti (karakter, kekuatan bathin), pikiran (intelektual) dan jasmani dari anak-anak, agar supaya menjadi ‘selaras’ dengan alam yang didalamnya apat pula masyarakat.
Kedua. Pendidikan dan Pengajaran merupakan daya upaya yang dilakukan dengan sengaja, secara terpadu dalam rangka untuk memerdekakan aspek lahiriah dan getahuan dan batiniah manusia. Disini pengajaran adalah salah satu bagian dari pendidikan, dalam arti pendidikan dengan cara memberi ilmu atau pengetahuan dan memberi kecakapan, pengertian serta pelatihan kepandaian kepada anak-anak, yang dapat berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin. Pada umumnya, pengajaran dapat memerdekakan manusia atas hidup lahirnya, sehingga dapat menjadi pintar, cerdas dan terampil.
Ketiga. Dalam pengertian umum bahwa, pendidikan adalah tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak, yang menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar sebagai manusia yang juga bagian dari masyarakat, dapat mencapai keselamatan dan yang setinggi-tingginya (Busthan Abdy 2016:33-34).
i. Wikipedia Indonesia
Menurut wikipedia (2014), pendidikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga memungkinkan secara otodidak. Setiap pengalaman yang memiliki efek formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau tindakan dapat dianggap pendidikan. Pendidikan pada umumnya, di bagi menjadi dua tahapan seperti prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah dan kemudian perguruan tinggi, universitas atau magang.
Sebuah hak atas pendidikan telah diakui oleh beberapa pemerintah. Pada tingkat global, Pasal 13 PBB 1966 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Meskipun pendidikan adalah wajib di sebagian besar tempat sampai usia tertentu, bentuk pendidikan dengan hadir di sekolah sering tidak dilakukan, dan sebagian kecil orang tua memilih untuk pendidikan home-schooling, e-learning atau yang serupa untuk anak-anak mereka.
j. KBBI (1990:204-205).
Pendidikan berasal dari kata dasarnya “didik” dan “mendidik” yang artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran—pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Kemudian berkembang menjadi kata “didikan” yang berarti hasil mendidik, yang di didik, dan cara mendidik. Selanjutnya dilakukan oleh “pendidik” yang artinya orang yang mendidik.
k. UU Nomor 20 tahun 2003
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPRI) dan Presiden Republik Indonesia, memutuskan lalu menetapkan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang termuat dalam Bab I, yaitu dalam bagian Ketentuan Umum, pada Pasal 1 (2009:2-3), yaitu sesuai dengan urutannya sebagai berikut:
Pertama. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Kedua. Pendidikan Nasional adalah merupakan pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Ketiga. Sistem Pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional
Keempat. Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha untuk mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran yang tersedia di jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Kelima. Tenaga Kependidikan adalah merupakan anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan di angkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
Keenam. Pendidik adalah merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya.
Dari beberapa defenisi dan pembahasan tentang pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat di tarik pemahaman mendasar bahwa sesungguhnya hidup tanpa pendidikan, adalah hidup yang tidak akan bisa menjadi hidup, sebagaimana tanpa pendidikan juga, segala sesuatunya bisa menjadi statis, pasif dan fiktif.
Sebab itu, menurut Busthan Abdy (2016:35-36), pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Dan oleh karena pendidikan adalah kehidupan, serta kehidupan adalah pendidikan, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah aktifitas manusia yang kompleks—tersistem—dalam kehidupan, yang dilakukan dengan rangkaian belajar dan pembelajaran,baik itu secara bertahap dan berkesinambungan, yaitu dalam jenjang waktu yang berlangsung terus-menerus (tanpa henti), sepanjang keberlangsungan kehidupan demi menjalani taraf hidup yang insanulkamil hingga mencapai kamilmukamil (sempurna menjadi sempurna sekali).
*******
Tulisan ini di kutip dari buku
"PENGANTAR PENDIDIKAN: Konsep & Dasar Pelaksanaan Pendidikan"
Penulis: Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd Tahun Terbit: 2016
Penerbit: Desna Live Ministry
Alamat Penerbit: Kupang
Nomor ISBN: 978-602-74991-3-3
Nomor ISBN: 978-602-74991-3-3
0 komentar:
Post a Comment