Revisi Taksonomi Bloom


Sepanjang akhir tahun 1990-an, sebuah kelompok psikolog kognitif yang dipelopori oleh bekas murid Bloom, yakni Lorin Anderson dan Sosniak (1994), muncul dan memperbaharui taksonomi Bloom dengan tujuan agar lebih sesuai dengan tuntutan akan kebutuhan belajar pada abad ke-21. Kelompok ini menerbitkan sebuah versi terbaru dari taksonomi Bloom yang mempertimbangkan jangkauan yang lebih luas dari berbagai faktor yang berdampak pada kegiatan belajar dan mengajar. Taksonomi yang diperbaharui ini berusaha memperbaiki beberapa kekeliruan yang ada pada taksonomi yang asli. 

Tidak seperti versi 1956, taksonomi yang baru membedakan antara “tahu tentang sesuatu” (knowing what), isi dari pemikirannya itu sendiri, dan “tahu tentang bagaimana melakukannya” (knowing how), sebagaimana prosedur yang digunakan dalam menyelesaikan masalah. 

Hasil perbaikannya dipublikasikan pada tahun 2001 dengan nama Revisi Taksonomi Bloom dalam bentuk sebuah buku yang berjudul: A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assesing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educatioanl Objectives, yang di susun oleh Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl.

Tingkatan-tingkatan dalam Taksonomi Bloom memang telah digunakan hampir setengah abad sebagai dasar untuk penyusunan tujuan-tujuan pendidikan, penyusunan tes, dan kurikulum di seluruh dunia. Kerangka pikirnya memudahkan guru memahami, menata, dan mengimplementasikan tujuan-tujuan pendidikan. Berdasarkan hal tersebut, taksonomi Bloom menjadi sesuatu yang penting dan mempunyai pengaruh yang luas dalam waktu yang lama.

Dalam revisi kemudian, terdapat perubahan kata kunci, dimana masing-masing kategori masih diurutkan secara hirarkis dari urutan terendah ke yang lebih tinggi. Pada ranah kognitif kemampuan berpikir analisis dan sintesis, diintegrasikan menjadi analisis saja. 

Dari jumlah enam kategori pada konsep terdahulu, tidak berubah jumlahnya karena Lorin memasukkan kategori baru yaitu creating yang sebelumnya tidak ada. Taksonomi dari hasil revisi Anderson pada ranah kognitif adalah sebagai berikut: 
  1. Mengingat—kata-kata operasional yang digunakan adalah mengurutkan, menjelaskan, mengidentifikasi, menamai, menempatkan, mengulangi, menemukan kembali. 
  2. Memahami—kata-kata operasional yang digunakan adalah menafsirkan, meringkas mengklasifikasikan, membandingkan, menjelaskan, membeberkan. 
  3. Menerapkan—kata-kata operasional yang digunakan adalah melaksanakan, menggunakan, menjalankan, melakukan, mempraktekan, memilih, menyusun, memulai, menyelesaikan, mendeteksi. 
  4. Menganalisis—kata-kata operasional yang digunakan adalah menguraikan, membandingkan, mengorganisir, menyusun ulang, mengubah struktur, mengkerangkakan, menyusun outline, mengintegrasikan, membedakan, menyamakan, membandingkan, mengintegrasikan. 
  5. Mengevaluasi—kata-kata operasional yang digunakan adalah menyusun hipotesi, mengkritik, memprediksi, menilai, menguji, membenarkan, menyalahkan. 
  6. Berkreasi—kata-kata operasional yang digunakan adalah merancang, membangun, merencanakan, memproduksi, menemukan, membaharui, menyempurnakan, memperkuat, memperindah, menggubah. 

Setelah melalui revisi, taksonomi Bloom tetap menggambarkan suatu proses pembelajaran dengan memproses suatu informasi sehingga dapat dimanfaat khususnya pada proses belajar dan pembelajaran. Beberapa prinsip didalamnya adalah: (1) Sebelum memahami sebuah konsep maka harus mengingatnya terlebih dahulu, (2) Sebelum menerapkan maka harus memahaminya terlebih dahulu, (3) Sebelum mengevaluasi dampaknya maka harus mengukur atau menilai, (4) Sebelum berkreasi sesuatu maka harus mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis dan mengevaluasi, serta memperbaharui.

Generalisir cara berpikir seperti di atas mungkin sedikitnya agak menyulitkan. Sebab dalam beberapa jenis kegiatan, tidak semua tahap seperti itu diperlukan, dalam arti bahwa menciptakan sesuatu tidak harus juga berdasarkan generalisir tersebut. Karena hal ini lebih kepada bagaimana kreativitas seorang individu. 

Proses pembelajaran dapat dimulai dari tahap mana saja. Namun secara terintegrasi, tidak dapat di pungkiri bahwa model generalisir ini sebenarnya melekat pada setiap proses pembelajaran. 

Beberapa keberatan mungkin dapat pula muncul di sini, sebagaimana penggeneralisiran berpikir bisa saja tidak sesuai dengan kenyataan bahwa siswa seharusnya berpikir secara holistik. Karena ketika kemampuan itu dipisah-pisahkan, maka siswa dapat kehilangan kemampuannya untuk menyatukan kembali beberapa komponen-komponen yang sudah terpisah. Dalam hal ini, sebaiknya di berikan kesempatan kepada siswa untuk untuk berpikir secara kritis. 

Beberapa hal dapat di lihat disini terkait dengan revisi taksonomi Bloom yang dilakukan Anderson dkk, yaitu sebagai berikut: 
  1. Tingkatan tingkah laku pada taksonomi bloom yang lama menggunakan kata sifat, sedangkan Anderson mengubahnya dengan menggunakan kata kerja. 
  2. Tingkatan terendah (C1) Pengetahuan diganti dengan Mengingat. 
  3. Tingkatan C5 Sintesa dan tingkatan 
  4. Evaluasi dilebur menjadi Mengevaluasi yang berkedudukan pada tingkatan C5. 
  5. Tingkatan C6 digantikan menjadi Berkreasi. 

Mengapa Revisi?
Terdapat beberapa alasan mengapa taksonomi Bloom ini perlu di revisi oleh Anderson dkk.

Pertama, terdapat kebutuhan untuk mengarahkan kembali fokus para pendidik pada handbook taksonomi Bloom, bukan sekedar sebagai dokumen sejarah, melainkan juga sebagai karya yang dalam banyak hal telah “mendahului” zamannya (Rohwer dan Sloane, 1994). Artinya, bahwa banyak gagasan dalam handbook taksonomi Bloom yang dibutuhkan oleh pendidik masa kini karena pendidikan masih terkait dengan masalah-masalah desain pendidikan, penerapan program yang tepat, kurikulum standar, dan asesmen autentik.

Kedua, terdapat semacam kebutuhan untuk memadukan pengetahuan-pengetahuan dan pemikiran-pemikiran baru dalam sebuah kerangka kategorisasi tujuan pendidikan. Masyarakat dunia telah banyak berubah sejak tahun 1956, dan perubahan-perubahan ini mempengaruhi cara berpikir dan praktik pendidikan. Kemajuan dalam ilmu pengetahuan ini mendukung keharusan untuk merevisi handbook taksonomi Bloom.

Ketiga, bahwa pada prinsipnya, taksonomi merupakan sebuah kerangka berpikir yang sifatnya khusus, sehingga menjadi dasar untuk mengklasifikasikan tujuan-tujuan pendidikan. Sebuah rumusan tujuan pendidikan seharusnya berisikan satu kata kerja dan satu kata benda. Kata kerjanya umumnya mendeskripsikan proses kognitif yang diharapkan dan kata bendanya mendeskripsikan pengetahuan yang diharapkan dapat dengan mudah dikuasai oleh siswa. Nah, dalam hal ini, taksonomi Bloom hanya memiliki satu dimensi yaitu kata benda. Menurut Tyler (1994) rumusan tujuan yang paling bermanfaat adalah rumusan yang dapat dengan mudah menunjukkan jenis perilaku yang akan diajarkan kepada siswa dan isi pembelajaran yang membuat siswa menunjukkan perilaku yang dilakunya. Berdasarkan hal tersebut, menjadi suatu keharusan untuk membuat rumusan tujuan pendidikan yang memuat dua dimensi yaitu dimensi pertama untuk menunjukkan jenis perilaku siswa dengan menggunakan kata kerja dan dimensi kedua untuk menunjukkan isi pembelajaran dengan menggunakan kata benda.

Keempat, bahwa proporsionalitas pembelajaran merupakan proporsi yang tidak sebanding dalam penggunaan taksonomi pendidikan untuk perencanaan kurikulum dan pembelajaran dengan penggunaan taksonomi pendidikan untuk asesmen. Pada taksonomi Bloom, lebih memfokuskan penggunakan taksonomi pada asesmen saja.

Kelima, terkait dengan dasar kerangka pikir taksonomi Bloom, terdapat penekanan enam kategori (pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi) daripada sub-subkategorinya. Jadi, sebenarnya taksonomi Bloom menjabarkan enam kategori tersebut secara mendetail, namun kurang menjabarkan pada subkategorinya, sehingga sebagian orang akan lupa dengan sub-subkategori taksonomi Bloom.

Keenam, terdapat ketidakseimbangan proporsi subkategori dari taksonomi Bloom. Kategori pengetahuan dan komprehensinya lebih memiliki banyak subkategori namun empat kategori lainnya hanya memiliki sedikit subkategori.

Ketujuh, pada perbandingannya, taksonomi Bloom versi aslinya lebih ditujukan untuk para pengajar, sedangkan dalam perbandingannya dalam dunia pendidikan, tidak hanya dosen yang berperan untuk merencanakan kurikulum, pembelajaran, dan penilaian saja, karena faktor lainnya juga turut berperan. Oleh sebab itu, maka dibutuhkan sebuah revisi taksonomi yang dapat lebih luas menjangkau seluruh pelaku dalam dunia pendidikan.

Mungkin revisi taksonomi ini sudah menjawab permasalahan-permasalahan yang sudah dijelaskan sebelumnya. Akan tetapi menurut Anderson dan Krathwohl (2010), bahwa dalam revisi Taksonomi ini kerangka berpikir yang menjadikan aspek-aspek lebih bermanfaat belum dimasukkan. 

Sebagian aspek tersebut yang perlu dikaji oleh generasi mendatang adalah sebagai berikut: (1) Perencanaan dan analisis yang lebih matang; (2) Hubungan antara tujuan dan pembelajaran; (3) Format Tes pilihan ganda yang tak kunjung maju; (4) Teori belajar dan kognisi; (5) Hubungan antara ranah kognitif, afektif dan psikomotor.

Perencanaan dengan penganalisian yang tepat—bahwa revisi taksonomi Bloom membantu guru untuk melakukan analisis yang tajam, akurat, tetapi juga kritis, yaitu ketika mata pelajaran yang diajarkan dalam kelas-kelas terjadi proses pengulangan yang cukup signifikan. Dalam pengkategorian kerangka pikir ini, akhirnya mendorong guru untuk meluaskan rentang domain pengetahuan dan proses kognitifnya dalam setiap mata pelajaran mereka yang tentu akan menjadi lebih berkualitas. Artinya bahwa kerangka pikir boleh memberikan suatu manfaat yang lebih baik—untuk kasus-kasus yang lebih sulit dan membutuhkan perencanaan dan analisis yang lebih konkrit.

Relevansi antara tujuan dan pembelajaran—hubungan antara tujuan dan pembelajaran perlu dikaji secara lebih mendalam, agar menciptakan hubungan timbal balik. Revisi taksonomi menunjukkan ciri-ciri aktivitas pembelajaran yang sesuai dengan tujuannya, tetapi spesifikasi tujuan belajar tidak serta merta memunculkan metode pembelajarannya. Sehingga diwajibkan kepada para peneliti untuk menemukan metode pengajaran, strategi pembelajaran, atau kreasi-kreasi guru lainnya, untuk menciptakan proses belajar dan pembelajaran dalam lingkungan-lingkungan tertentu. Kerangka pikir yang bermanfaat bagi guru ialah kerangka pikir yang memudahkan mereka menerjemahkan tujuan-tujuan yang abstrak.

Relevansi antar ranah (Kognitif, Afektif, Psikomotor)—disini tujuan pendidikan di bagi dalam tiga ranah: kognitif, afektif, dan psikomotor. Pembagian ini bisa saja memisahkan aspek-aspek pada sebuah tujuan dan hampir setiap tujuan kognitif mengandung komponen afektif. Misalnya, guru PAK menginginkan siswanya tidak hanya belajar pada tahap mengkritisi materi PAK saja, tetapi juga belajar menghargainya, mengapresiasinya, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Menjadikan aspek-aspek afektif sebagai bagian dari pembelajaran dimungkinkan jika taksonomi pendidikan mengintegrasikan ketiga ranah ini. Karena hanya merevisi ranah kognitif, revisi taksonomi ini mengesampingkan pemisahan aspek-aspek ketiga ranah itu, tetapi kategori pengetahuan metakognitif dapat menjembatani integrasi ranah kognitif dan afektif. Hauenstein (1998), misalnya, membuat taksonomi afektif, taksonomi kognitif, dan juga taksonomi psikomotor. Akan tetapi, harus dipahami pila, bahwa tak satupun kerangka pikir yang ada mengintegrasikan ketiga ranah itu secara memadai.

Dari penjabaran di atas, maka dapat dapat di sederhanakan beberapa poin-poin penting terkait dengan revisi taksonomi Bloom ini, yaitu sebagai berikut:
  1. Dari satu dimensi ke dua dimensi (dimensi pengetahuan pada taksonomi lama, dipisahkan menjadi dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif pada taksonomi revisi) 
  2. Dimensi pengetahuan (dimensi pengetahuan pada taksonomi lama hanya terdiri atas tiga kategori pokok sedangkan dimensi pengetahuan pada taksonomi revisi terdiri atas empat kategori pokok) 
  3. Dimensi proses kognitif—Jumlah kategori tetap sama yaitu 6, namun terdapat beberapa perubahan penting, yang berupa perubahan nama, perubahan bentuk dari kata benda ke kata kerja, dan perubahan posisi. 
  4. Tabel taksonomi dna pemisahan dimensi taksonomi lama menjadi dua dimensi taksonomi revisi yang memunculkan suatu hubungan antara dimensi pengetahuan dan dimensi proses kognitif--yang bisa dituangkan dalam bentuk tabel taksonomi. 

Oleh: Abdy Busthan
Share on Google Plus

Tentang Abdy Busthan

Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd., M.Fil., adalah Dosen dan Teknolog Pembelajaran. Pembina dan Peneliti di Jurnal Ilmiah Flobamora Science. Dibesarkan di kota Nabire, Papua.Tempat tinggal di kota Kupang NTT. Lulus pendidikan S-1 dengan predikat lulusan terbaik dan tercepat (cumlaude), hanya dengan waktu 3 tahun, yaitu di FKIP IPTH Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Pendidikan S-2 pada Magister Teknologi Pendidikan, dengan mengambil konsentrasi ilmu Teknologi Pembelajaran dan Magister Filsafat.

0 komentar:

Post a Comment