Filsafat Manusia



Filsafat manusia merupakan cabang ilmu filsafat yang membahas makna menjadi manusia (Louis Leahy, 1984). Filsafat manusia menjadikan manusia sebagai objek studinya (Baharrudin Salam, 1988). Pembahasan dalam cabang ilmu filsafat manusia ini adalah tentang bagaimana manusia selalu mengajukan pertanyaan mengenai dirinya sebagai manusia. 

Filsafat manusia terus berkembang karena manusia adalah objek yang penuh dengan misteri. Titik tolak filsafat manusia adalah pengetahuan dan pengalaman manusia, serta dunia yang melingkupinya. Dalam sejarah, ada beberapa istilah yang mendahului filsafat manusia, yaitu psikologi filsafat, psikologi rasional, eksperimental dan empiris.

Apakah Manusia Itu?
Filsafat manusia adalah filsafat yang mengupas apa arti manusia. Pertanyaan pokoknya adalah apakah kekhasan manusia di tengah makhluk yang lain? Inilah pertanyaan yang terus-menerus terulang dalam sejarah, bahkan dalam kehidupan manusia secara pribadi.

Manusia adalah makhluk yang multidimensional, paradoksal, dan dinamis. Maka tidak mengherankan jika pandangan terhadap manusia menjadi beraneka ragam. Sehingga keanekaragaman pandangan ini tampak pula dalam keanekaragaman definisi tentang manusia. Mungkin yang paling terkenal adalah definisi dari Aristoteles yang mengatakan: “Manusia adalah animal rationale” (hewan berakal budi).

Pandangan filsafat lainnya juga merumuskan bahwa manusia adalah animal loquens (makhluk yang berbicara). Keunggulan manusia dalam hal bahasa, sangatlah nyata, di mana bahasa manusia berebda dengan bahasa hewan. Manusia mampu berbicara dalam bahasa lisan dan mampu mengembangkannya dalam bahasa tulisan.

Beberapa filsuf lainnya juga merumuskan manusia sebaga “a symbolic animal“. Sebuah simbol bersifat multidimensional. Bahasa simbol sangat khusus berperan dalam bahasa cinta dan bahasa religius.

Lain hal lagi dengan Karl Marx. Ia menemukan keunggulan manusia dalam pekerjaannya. Maka, manusia juga disebut makhluk yang bekerja. Banyak definisi-definisi lainnya yang juga muncul merumuskan kekhasan manusia di tengah makhluk lainnya di dunia ini. Misalnya, manusia dirumuskan sebagai an ethical being, sebagai an aesthetical being, dan a metaphysical being, serta a religious being, dsb.

Namun sesungguhnya definisi-definisi yang telah dilontarkan banyak filsuf ini, masih saja membawa berbagai keambiguan dan kesulitannya sendiri-sendiri.

Misalnya Aristoteles yang mengatakan bahwa ciri khas manusia adalah sebagai animal rationale atau dikuasai oleh kekuatan rasionya dan bukan oleh nafsu atau naluri, maka sulit dimengerti untuk bisa menjelaskan terjadinya suatu keserakahan kapitalisme, peperangan dunia, terorisme yang selalu memakan banyak korban dan membunuh ibu dan anak-anak dalam peradaban kita sekarang.

Mungkin saja, seseorang bisa mengatakan bahwa itu semuanya terjadi justru karena penggunaan sebuah rasio yang semakin canggih, yang disalahgunakan dan diselewengkan.

a. Manusia & Kemampuan Refleksi Diri
Teilhard de Chardin dalam “The Phenomenon of Man” (Anthony Pattipo's, 2012), menjawab kesulitan definisi dari ciri khas manusia ini. Ia mengatakan bahwa “Hewan mengetahui, tetapi hanya manusia mengetahui bahwa ia mengetahui.”

Manusia memiliki kemampuan refleksi diri atau kesadaran reflektif. Hewan di sisi lain, tidak mampu untuk berefleksi tentang dirinya. Mereka tidak memiliki kemampuan refleksi mengenai tindakan berpikir itu sendiri.

Kesadaran diri atau refleksi diri itu merupakan ciri khas manusia yang menentukan. Refleksi diri juga merupakan aktivitas manusia yang membedakan dirinya dengan orang lain. Dengan menjadikan dirinya sebagai pusat refleksi, manusia menarik diri dari lingkungan dan dari orang lain yang berada dalam lingkungannya.

Kemampuan refleksi diri yang menjadi kekhasan manusia ini, juga menjadi sumber dari berbagai ciri lainnya: rasionalitas, ingatan kembali, kesadaran akan kematian, kemampuan bunuh diri, aspirasi religius dan lain-lain. Refleksi-diri juga merupakan aktivitas yang membedakan diri manusia sendiri dengan orang lain.

Dengan kemampuan refleksi-nya, maka manusia memiliki keterbukaan terhadap dunia (openness to the world), dan tidak dibatasi oleh naluri dan stimulus spesifiknya. Sehingga manusia menjadi mampu untuk mengimbangi kelemahan nalurinya dengan kebebasan dan rasionalitas.

Kemampuan reflektif membuat manusia mampu menghadapi dirinya dan realitas lainnya sebagai objek. Manusia akan dapat mengambil atau mengatur jarak terhadap lingkungannya. Dengan demikian kemampuan refleksi diri manusia merupakan dasar dari perbedaan-perbedaan yang lain dengan binatang.

b. Manusia dalam Teori Evolusi
Tradisi Kristiani dan metafisik, menempatkan kekhasan manusia pada jiwa yang tidak dapat mati, yang membuat martabat manusia mengatasi seluruh kosmos.

Dalam perkembangannya, filsafat modern tidak lagi mencari kekhasan manusia menurut tradisi Kristiani yaitu dalam kerangka hubungan manusia dengan kosmos atau Allah.

Pada abad ke-19 diusahakan untuk mengatasi dualisme badan-jiwa dengan melihat keunikan manusia dalam kejasmaniannya. Kekhasan manusia itu di cari melalui refleksi mengenai tempat manusia di dalam alam semesta dan terutama dalam perbandingan manusia dengan binatang. Pendekatan ini seolah-olah kembali pada pendekatan kaum Stoa yang memahami manusia dalam kerangka tertib kosmik sebagai mikrokosmos.

Selaras dengan teori evolusi Darwin, antropologi mengandaikan kontinuitas hewan dan manusia, yang kemudian mencoba menentukan tempat khas manusia dalam kontinuitas ini dan bukannya memasukkan prinsip asing ke dalam alam.

Pendekatan ini dipelopori oleh J.G. Herder dan Friederich Nietzsche serta pendekatan psikologi yang tidak lagi mempelajari psyche melalui introspeksi tetapi melalui observasi perilaku ekstrim. Cara pandang seperti ini disebut perspektif “antropo-biologi”.

Secara sederhana, dapatlah dikatakan bahwa, pendekatan ini merupakan cara pandang fenomenologis yang mencari kekhasan manusia sebagaimana terlihat dalam perilaku dan kejasmaniannya. Pendekatan ini lebih-lebih dilakukan oleh behaviourisme Amerika di satu sisi, dan sisi lain oleh penelitian “antropologi filsafat” yang bertolak dari penelitian biologis atas prilaku manusia.

c. Manusia & Teori Behavioristik
Pendekatan behaviouristik yang digagas oleh para ahlinya seperti: J. B. Watson, B. F. Skinner, dan Ivan P. Pavlov, dalam menggambarkan perilaku sebagai adaptasi terhadap lingkungan yang didasarkan pada hukum stimulus-respons, sebenarnya mereduksi kegiatan manusia hanya sebatas pada perilaku terobservasi yang dirangsang dari luar (eksternal).

Pendekatan behavioristik Pavlov misalnya, dengan melakukan pengujian terhadap seekor anjing, kemudian ia mendapatkan banyak kritik sebab menyamakan kedudukan manusia dan hewan dalam belajar. Diantaranya adalah kritik dari Jurgen Habermas yang mengatakan bahwa “stimulus yang sama dapat menghasilkan respons yang berbeda bila diinterpretasikan secara berbeda oleh yang memberi respons.” Hal ini membawa pergeseran dari pendekatan yang melului empiristik kepada suatu interpretasi perilaku yang didasarkan pada adanya apriori atau skema perilaku bawaan yang disebut ”apriori”, karena skema itu telah ada sebelum suatu pengalaman terjadi.

Interpretasi ini berkembang dalam tradisi filsafat Jerman yang dipengaruhi oleh Imanuel Kant, di mana ia berpendapat bahwa semua pengalaman tergantung pada forma apriori. Pandangan Kant ini mempengaruhi Lorenz yang berusaha menunjukkan bahwa forma atau kategori apriori yang memungkinkan semua pengalaman manusia terkait dengan forma organ tubuh kita (internal).

d. Manusia & Humanisme
Filsuf Heidegger, memandang konsepsi manusia dalam kerangka paham humanisme. Humanisme menolak suatu asumsi mengenai manusia yang naturalistik dalam artian, bahwa “esensi manusia merupakan organisme binatang”.

Humanisme memandang manusia terutama sebagai suatu entitas yang berada di dalam dunia bersamaan dengan entitas yang lain, dan kemudian dari situ dicarikan ciri-cirinya yang khas. Humanisme mencari definisi mengenai manusia yang tidak memadai itu dengan merangkaikan “jiwa” dengan “badan”, dan akal budi dengan jiwa.

Heidegger berpendapat bahwa selama filsafat modern menjadikan kesadaran sebagai titik tolak, maka konsepsi manusia akan tetap didasari oleh humanisme.

Di dalam semua bentuk humanisme, manusia ditempatkan di antara berbagai realitas dunia lainnya; manusia sebagai animal rationale juga dipandang dalam hubungannya dengan entitas dan justru bukan di dalam hubungannya dengan “kebenaran Ada”.

Inilah maksudnya jika dikatakan bahwa esensi manusia terletak pada eksistensinya. Tubuh manusia secara esensial berbeda dari organisme hewan. Menurut Heidegger apa yang kita anggap sebagai animalitas pada manusia tidak dapat diperbandingkan dengan hewan, tetapi harus didasarkan pada esensi dari eksistensinya.

Manusia tidak seperti entitas lainnya. Entitas lain hanyalah ada. Entitas itu hadir, tetapi tidak “mencapai” dirinya, artinya “tidak memiliki kesadaran-diri”; entitas lain tidak “hadir pada dirinya”. Hanya atas dasar “kehadiran-pada-dirinya-sendiri” dari eksistensi, maka entitas lainnya dapat hadir. Inilah yang bagi kaum eksistensialis, menjadi semacam pengalaman asasi yang menunjukkan kedudukan khas manusia di tengah-tengah makhluk yang lain.

Oleh: Abdy Busthan
Share on Google Plus

Tentang Abdy Busthan

Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd., M.Fil., adalah Dosen dan Teknolog Pembelajaran. Pembina dan Peneliti di Jurnal Ilmiah Flobamora Science. Dibesarkan di kota Nabire, Papua.Tempat tinggal di kota Kupang NTT. Lulus pendidikan S-1 dengan predikat lulusan terbaik dan tercepat (cumlaude), hanya dengan waktu 3 tahun, yaitu di FKIP IPTH Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Pendidikan S-2 pada Magister Teknologi Pendidikan, dengan mengambil konsentrasi ilmu Teknologi Pembelajaran dan Magister Filsafat.

0 komentar:

Post a Comment