Psikologi Gestalt dan Max Wertheimer



Oleh: Abdy Busthan

Pada tahun 1912 (tepatnya di Jerman) peradaban ilmu pengetahuan digemparkan oleh sebuah artikel tentang konsep “gerakan ilusi” oleh Max Wertheimer, seorang Psikolog berkebangsaan Austria-Hungary. Artikel tersebut sekaligus pula menandai awal dimulainya suatu gerakan psikologi berkelas dunia yang disebutkan dengan "Psikologi Gestalt".

Max Wertheimer (1980-1943) memang dianggap sebagai pendiri Psikologi Gestalt ini. Namun sebenarnya dia tidak sendirian. Sebab awalnya ia bekerja sama dengan dua tokoh yang juga dianggap sebagai “bapak” pendiri Psikologi Gestalt, yaitu: Wolfgang Kohler (1887-1967) dan Kurt Koffka (1886-1941). Dalam hal ini Kohler dan Koffka juga sangat memiliki andil dalam eksperimen pertama yang dilakukan Wertheimer (Busthan Abdy, 2016:14).

Istilah gestalt berasal dari kata Jerman yang berarti “pola” atau “konfigurasi”. Aliran ini berpendapat bahwa seseorang mengalami dunia secara menyuluruh dan bermakna. Individu tidak melihat stimuli yang terpisah-pisah namun stimuli tersebut selalu dikelompokkan bersama (diorganisasikan) ke dalam satu konfigurasi yang bermakna atau Gestalten (bentuk jamak dari Gestalt).

Hergenhann B. R & Olson H. Matthew dalam Busthan Abdy (2016) menjelaskan bahwa kita melihat orang, kursi, mobil, pohon, dan bunga, namun kita tidak melihatnya sebagai deretan dan kontur dan serpihan warna. 
Medan persepsi kita adalah komposisi keseluruhan yang tertata atau Gestalten, dan ini seharusnya dijadikan subjek penelitian pskologi. Jadi pandangan Gestaltis (kelompok Gestalt) adalah: “keseluruhan ini berbeda dari penjumlahan bagian-bagiannya” atau bisa dikatakan “membagi-bagi berarti mendistorsi”.

Misalnya, kita tidak bisa mendapatkan kesan penuh dari lukisan Presiden Soekarno dengan hanya melihat gambar tangan kanannya dahulu, lalu gambar tangan kirinya, lalu rambutnya, pecinya, telinganya, hidungnya, mulutnya dan kemudian menyatukan pengalaman untuk melihat ini. Sebagaimana kita juga tidak bisa memahami pengalaman mendengarkan musik dangdut dengan menganalisis kontribusi masing-masing musisinya atau alat musiknya secara terpisah-pisah. Musik yang berada dalam musik dangdut adalah berbeda dengan jumlah pemain musik atau jumlah alat-alat musik yang dimainkan oleh setiap musisi yang terlibat di dalamnya. Melodi dangdut memiliki kualitas sendiri yang berbeda dengan kualitas suara yang dihasilkan oleh berbagai alat musik yang menjadi unsur melodi tersebut (Busthan Abdy, 2016:15).

Inilah kajian mendalam dari psikologi Gestalt yang di gagas Wertheimer ini, yakni dari konsep “gerakan ilusi” atau disebutkan dengan istilah “phi phenomenon”. Awalnya dalam sebuah perjalanan Wertheimer dengan sebuah kereta api menuju kota Rhineland, yaitu kota bagian negara Jerman yang luas wilayahnya 19.846 km². 
Dalam perjalanan itu, timbullah gagasan Wertheimer, bahwa jika dua cahaya berkedip-kedip (padam hidup-padam trus hidup) pada tingkat tertentu, maka cahaya itu akan memberikan kesan bagi pengamatnya bahwa satu cahaya bergerak maju dan mundur. Konsep ini selanjutnya diperdalam lagi oleh Wertheimer yang akhirnya menghasilkan pemahaman bahwa, jika mata melihat stimuli dengan cara tertentu, penglihatan itu akan memberikan ilusi gerakan atau seperti disebutkan di atas, phi phenomenon. Akhirnya penemuan ini menjadi dasar penting terhadap sejarah perkembangan psikologi di dunia (Busthan Abdy, 2016:15-16).

Pemahaman penting terkait phi phenomenon ini adalah bahwa fenomena ini berbeda dari elemen atau komponen yang menyebabkannya. Sensasi suatu gerakan tidak dapat dijelaskan dengan menganalisis setiap unsur kedipan cahaya, yakni cahaya padam dan cahaya hidup (padam-hidup); perasaan akan adanya gerakan akan muncul dari kombinasi kedua elemen itu. 

Karena alasan ini maka aliran Gestalt percaya bahwa walaupun pengalaman psikologis berasal dari elemen sensoris (indrawi), namun pengalaman itu berbeda dengan elemen sensoris itu sendiri. Bisa dikatakan dengan kalimat sederhana bahwa, "pengalaman fenomenologis (baca: gerakan yang kelihatan) berasal dari pengalaman sensoris (baca: cahaya)".

Tetapi sesungguhnya hal ini tidak bisa dipahami dengan cara menganalisis komponen-komponen pengalaman fenomenal ini. Artinya bahwa, pengalaman fenomenologis adalah berbeda dari bagian-bagian yang menyusunnya tersebut. Jadi pada titik ini para Gestaltis yang mengikuti tradisi Kantian meyakini bahwa organisme menambahkan sesuatu pada pengalaman, di mana sesuatuitu tidak terdapat dalam data yang di indra dan sesuatu itu adalah tindakan menata (organisasi) data (Busthan Abdy, 2016:16-17).
Referensi Buku:
Busthan Abdy. (2016). Pembelajaran Kognitif. Kupang: Desna Life Ministry
Kontak: 081333343222 (Hp dan WA)
Share on Google Plus

Tentang Abdy Busthan

Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd., M.Fil., adalah Dosen dan Teknolog Pembelajaran. Pembina dan Peneliti di Jurnal Ilmiah Flobamora Science. Dibesarkan di kota Nabire, Papua.Tempat tinggal di kota Kupang NTT. Lulus pendidikan S-1 dengan predikat lulusan terbaik dan tercepat (cumlaude), hanya dengan waktu 3 tahun, yaitu di FKIP IPTH Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Pendidikan S-2 pada Magister Teknologi Pendidikan, dengan mengambil konsentrasi ilmu Teknologi Pembelajaran dan Magister Filsafat.

0 komentar:

Post a Comment