Teori Motivasi dalam Pembelajaran



Teori motivasi mulai berkembang sekitar tahun 1950-an dengan dua konsep motivasi yang menonjol pada masa itu: (1) Hierarki teori kebutuhan Maslow; 
(2) Teori X dan Y. 

Adapun teori-teori kuno (teori X dan Y) dikenal karena merupakan dasar berkembangnya teori yang ada hingga saat ini, yang semula digunakan oleh para manajer pelaksana di organisasi-organisasi dunia dalam menjelaskan motivasi karyawan pada saat itu. Disamping itu, terdapat pula beberapa teori motivasi kontemporer. 

Teori Hierarki Kebutuhan Maslow 
Teori motivasi yang paling terkenal adalah hierarki kebutuhan milik Abraham Maslow. Ia membuat hipotesis bahwa dalam setiap diri manusia terdapat hierarki dari lima kebutuhan, yaitu fisiologis (rasa lapar, haus, seksual, dan kebutuhan fisik lainnya), rasa aman (rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan emosional), sosial (rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan), penghargaan (faktor penghargaan internal dan eksternal), dan aktualisasi diri (pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang dan pemenuhan diri sendiri).

Maslow memisahkan lima kebutuhan ke dalam urutan-urutannya. Kebutuhan fisiologis dan rasa aman dideskripsikan sebagai kebutuhan tingkat bawah—sedangkan kebutuhan sosial, penghargaan, dantingkatan aktualisasi diri sebagai kebutuhan tingkat atas—seingga perbedaan antara kedua tingkat tersebut adalah dasar pemikiran bahwa kebutuhan tingkat atas dipenuhi secara internal sementara kebutuhan tingkat rendah secara dominan dipenuhi secara eksternal. 

Teori X dan Y
Douglas McGregor menemukan teori X dan teori Y, yaitu setelah ia mengkaji cara bagaimana para manajer berhubungan dengan karyawannya. Kesimpulan yang didapatkan bahwa pandangan manajer mengenai sifat manusia didasarkan atas beberapa kelompok asumsi tertentu dan cenderung membentuk perilaku mereka terhadap karyawan berdasarkan asumsi-asumsi tersebut. 

Ada 4 (empat) asumsi yang di miliki manajer dalam teori X, yaitu sebagai berikut: 
  • Karyawan pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan sebisa mungkin berusaha untuk menghindarinya. 
  • Karena karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dipakai, dikendalikan, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan. 
  • Karyawan akan mengindari tanggung jawab dan mencari perintah formal, di mana ini adalah asumsi ketiga. 
  • Sebagian karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain terkait pekerjaan dan menunjukkan sedikit ambisi.

Bertentangan dengan pandangan-pandangan negatif mengenai sifat manusia dalam teori X, maka terdapat empat asumsi positif yang disebutkan dalam teori Y, yaitu:
  • Karyawan menganggap kerja sebagai hal yang menyenangkan, seperti halnya istirahat atau bermain
  • Karyawan akan berlatih mengendalikan diri dan emosi untuk mencapai berbagai tujuan. 
  • Karyawan bersedia belajar untuk menerima, mencari, dan bertanggungjawab. 
  • Karyawan mampu membuat berbagai keputusan inovatif yang diedarkan ke seluruh populasi, dan bukan hanya bagi mereka yang menduduki posisi manajemen.

Jika teori Y dan X ini diaplikasikan dalam dunia Pendidikan, khususnya dalam proses Pembelajaran, maka terlebih dahulu dipahami bahwa perilaku setiap individu berbeda satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, guru harus bisa memahami perilaku tiap-tiap siswa di dalam proses pembelajaran yang dipimpinnya sehingga ia bisa menemukan gaya belajar yang tepat dan proporsional.  
Karena hal ini akan tergantung dari hal-hal yang bisa “memotivasi” siswa-siswi untuk berperilaku dan juga bagaimana siswa-siswi tersebut dapat mengelola dan menindaklanjuti motivasi tersebut. 

Dari perbedaan inilah yang memunculkan adanya perilaku yang bersifat positif dan negatif. Sehingga menghasilkan dua kondisi perilaku siswa, yaitu perilaku individu yang bersifat positif dan yang bersifat negatif, yang nantinya hal tersebut akan pula mempengaruhi proses pembelajaran. 

Untuk itu, dapat di lihat pada implikasi teori perilaku yang dipaparkan oleh Douglas McGregor yaitu teori X dan Y di atas. Teori ini menyebutkan bahwa siswa terbagi menjadi dua karakteristik yang berbeda. 

(1) Teori X--teori ini akan menyatakan bahwa pada dasarnya pebelajar yaitu siswa adalah makhluk pemalas yang tidak suka belajar, serta senang menghindar dari pelajaran dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Juga pada pendidik yaitu guru memiliki ambisi yang kecil untuk mencapai visi, misi dan tujuan dari tugasnya, namun menginginkan balas jasa serta jaminan hidup yang tinggi. Oleh karena itu, teori X memberikan pengawasan yang ketat, tugas-tugas yang jelas, dan menetapkan imbalan atau hukuman, dan juga diancam serta diarahkan agar dapat bekerja sesuai dengan yang diinginkan oleh lembaga Kependidikan

(2) Teori Y—teori ini memiliki anggapan bahwa pebelajara yaitu siswa adalah kodrat manusia seperti halnya kegiatan sehari-hari lainnya. Siswa tidak perlu terlalu diawasi dan diancam lewat pengawasan, peraturan secara ketat, karena mereka memiliki pengendalian serta pengerahan diri untuk belajar sesuai visi, misi dan tujuan pendidikan. Sementara pendidik yaitu guru juga memiliki kemampuan, kreativitas, imajinasi, kepandaian serta memahami tanggung jawab dan prestasi atas pencapaian tujuan pengajarannya. Guru juga tidak harus mengerahkan segala potensi diri yang dimiliki dalam bekerja.

Menurut asumsi teori Y, siswa-siswi pada hakikatnya menganggap bahwa: 

Pertama. Pekerjaan belajar itu pada hakekatnya seperti bermain, dapat memberikan kepuasan kepada orang lain. Sehingga di antara keduanya tidak ada perbedaan, jika keadaan sama-sama menyenangkan. 

Kedua. Siswa dapat mengawasi diri sendiri, dan hal itu tidak bisa dihindari dalam rangka mencapai tujuan-tujuan pembelajaran 

Ketiga. Kemampuan untuk berkreativitas di dalam memecahkan persoalan-persoalan belajar secara luas didistribusikan kepada seluruh pendidik yaitu guru. 

Keempat. Motivasi tidak saja berlaku pada kebutuhan-kebutuhan sosial, penghargaan dan aktualisasi diri tetapi juga pada tingkat kebutuhan-kebutuhan fisiologi dan keamanan. 

Kelima. Siswa maupun guru dapat mengendalikan diri dan kreatif dalam bekerja jika dimotivasi secara tepat. 

Teori Motivasi Kontemporer
Teori motivasi kontemporer dikembangkan dengan menggambarkan kondisi pemikiran saat ini dalam menjelaskan motivasi karyawan, yang mencakup: 

Teori Kebutuhan McClelland—dikembangkan oleh David McClelland dan teman-temannya. Teori kebutuhan McClelland berfokus pada tiga kebutuhan yang didefinisikan sebagai berikut: 1) kebutuhan berprestasi: dorongan untuk melebihi, mencapai standar-standar, berusaha keras untuk berhasil, 2) kebutuhan berkuasa: kebutuhan untuk membuat individu lain berperilaku sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya, 3) kebutuhan berafiliasi: keinginan untuk menjalin suatu hubungan antarpersonal yang ramah dan akrab. 

Teori Evaluasi Kognitif—teori yang menyatakan bahwa pemberian penghargaan-penghargaan dalam bentuk ekstrinsik untuk perilaku yang sebelumnya memuaskan, secara intrinsik cenderung mengurangi tingkat motivasi secara keseluruhan. Teori evaluasi kognitif telah di teliti secara eksensif dan ada banyak studi yang mendukung. Berdasarkan pada sudut pandang kognitif, mengutip pendapat Ames (1984); dalam Suciawati (2003), mendefinisikan bahwa motivasi sebagai perspektif yang dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri dan lingkungannya, dimana hal itu diberikan contoh, bahwa jika seseorang merasa memiliki kemampuan, maka orang tersebut akan mampu memiliki kemauan dan dapat menyelesaikan tugasnya. Kemampuan yang dimaksudkan disini akan dapat menjadi motor penggerak dari kemauannya sendiri. 

Sementara itu, terdapat juga motif kognitif (cognitive motivies) yang merujuk pada gejala instrinsik, dalam hal kepuasan, individual, motif ekspresi diri (self Expression) yang merupakan sebagian dari perilaku manusia, serta motif untuk maju (self-enhancement). Sardiman (1995) kemudian mencatat berbagai varian motivasi, dari dasar pembentukan, serta motivasi yang dibedakan menjadi motivasi bawaan, yang diperoleh dari sejak lahir seperti dorongan untuk minum dan makan, atau motif yang didasarkan oleh dorongan afiliasi. 

Teori Penentuan Tujuan—merupakan teori yang mengemukakan bahwa niat untuk mencapai tujuan merupakan sumber motivasi kerja yang utama. Artinya, tujuan memberitahu seorang karyawan apa yang harus dilakukan dan berapa banyak usaha yang harus dikeluarkan.

Teori Penguatan—di sini perilaku merupakan sebuah fungsi dari konsekuensi-konsekuensinya jadi teori tersebut mengabaikan keadaan batin individu dan hanya terpusat pada apa yang terjadi pada seseorang ketika ia melakukan tindakan.

Teori Keadilan—di sini individu membandingkan masukan-masukan dan hasil pekerjaan mereka dengan masukan-masukan dan hasil pekerjaan orang lain, dan kemudian merespons untuk menghilangkan ketidakadilan.

Teori Harapan—merupakan kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dalam cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti dengan hasil yang ada dan pada daya tarik dari hasil itu terhadap individu tersebut

Oleh: Abdy Busthan
Share on Google Plus

Tentang Abdy Busthan

Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd., M.Fil., adalah Dosen dan Teknolog Pembelajaran. Pembina dan Peneliti di Jurnal Ilmiah Flobamora Science. Dibesarkan di kota Nabire, Papua.Tempat tinggal di kota Kupang NTT. Lulus pendidikan S-1 dengan predikat lulusan terbaik dan tercepat (cumlaude), hanya dengan waktu 3 tahun, yaitu di FKIP IPTH Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Pendidikan S-2 pada Magister Teknologi Pendidikan, dengan mengambil konsentrasi ilmu Teknologi Pembelajaran dan Magister Filsafat.

0 komentar:

Post a Comment