Iman Versus Pengetahuan



Dalam rumusan Fides Quaerens Intellectum di abad pertengahan, dikatakan bahwa “iman yang harus berusaha mencari pengertian”. Sebagaimana hal ini juga pernah ditegaskan dalam Credo ut Intelligam, bahwa “saya percaya supaya saya boleh mengerti”. 

Tentu saja, ke-dua pernyataan di atas menegaskan bahwa hakikat terdalam dari tindakan manusia adalah iman yang diikuti oleh peran akal budi secara benar (pengertian, penalaran, dll). Kita bisa memahami secara mendalam lagi bahwa jika iman muncul terlebih dahulu, maka pengertian akan selalu mengikutinya.

Stong Stephen (2011) menjelaskan bahwa iman yang menjadi penyebab adanya pengertian dan pengetahuan, bukan sebaliknya. Pengertian dan pengetahuan akan ada sesudah iman. 


Sebagaimana dalam surat Ibrani 11:1-3, menjelaskan 3 hal mendasar, yatu: (1) dari iman kepada bukti; (2) dari iman kepada saksi; dan (3) dari iman kepada pengertian. Tentunya ini memberikan prinsip mendasar bahwa karena beriman, maka seseorang dapat memperoleh bukti tentang kebenaran; dan karena beriman pula, maka seseorang bersaksi (membuktikan) tentang kebenaran; serta, karena beriman maka seseorang memperoleh pengertian tentang kebenaran.

Jadi jelas bahwa iman melahirkan bukti, bukan bukti yang melahirkan iman. Demikian di tegaskan Stong Stephen (2011) dalam Busthan Abdy (2018:57-58). Dalam pemahaman bahwa iman itu adalah bukti, bukan setelah ada bukti baru beriman. 

Sebagaimana pula dijelaskan dalam kitab Ibrani pasal 11, ayat 1 sampai 3, seperti penjelasan di atas, bahwa iman itu sendiri adalah bukti. Iman itu sendiri adalah bukti dari hal-hal yang tidak kelihatan (ayat 1). Jika seseorang beriman kepada Allah, maka ia mendapatkan "saksi" yang dalam istilah aslinya adalah “bukti” (ayat 2). Dan setelah seseorang beriman, maka ia baru bisa "mengerti" (ayat 3). Karena itu, pendapat yang mengatakan perlu bukti dulu baru beriman, adalah pendapat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip iman itu sendiri.

Dalam karyanya berjudul “From Faith to Faith” (Dari Iman kepada Iman) Tong Stephen (2011) dalam Busthan Abdy (2018:58-61) menjabarkan tentang 4 (empat) kekeliruan pemahaman iman yang kerapkali muncul, yaitu sebagai berikut:

Pertama. Iman berdasarkan penglihatan (Jika saya melihat, saya akan percaya). Jika seseorang dapat melihat Tuhan, maka secara otomatis orang itu akan percaya. Hal ini sesungguhnya adalah kekeliruan. Karena menyatakan bahwa iman dibangun dari penglihatan, yaitu apa yang dapat dilihat secara “kasat mata”. 


Sehingga nantinya apa yang tidak dapat terlihat, tidak akan mungkin di percaya lagi. Jika tidak bisa melihat Allah dengan kasat mata, maka tidak percaya Allah itu ada. Padahal sudah jelas sekali perkataan Kristus kepada Thomas dalam Injil Yohanes 20:29b: “Berbahagialah orang yang tidak melihat, namun percaya”.

Kedua. Iman berdasarkan pengalaman (Jika saya mengalami, saya akan percaya). Prinsip ini adalah akibat dari kejatuhan manusia ke dalam dosa, yaitu iman yang di bangun hanya berdasarkan sebuah “pengalaman”. Dalam hal ini, seseorang tidak percaya karena dia tidak mengalami apa-apa. Atau dengan kata lain, jika ia mengalami, maka ia dapat percaya—seseorang tidak akan percaya, jika ia tidak mengalami apa-apa. 


Jika iman didasarkan pada pengalaman, maka iman akan dikendalikan oleh pengalaman. Ketika seseorang berkata: “jika saya mengalami, saya akan beriman” atau “jika saya tidak mengalami, maka saya tidak beriman”, itu berarati iman seseorang didasarkan hanya sebatas pondasi “pengalaman”. Akibatnya, jika pengalaman seseorang berubah, maka seluruh sendi iman juga akan goncang dan berubah. Seharusnya, iman ditegakkan di atas dasar iman. Mengapa? Karena jika iman yang pertama merupakan dasar, maka iman selanjutnya akan bertumbuh di dalam iman yang kuat. 

Ketiga. Iman berdasarkan bukti (Jika ada bukti, saya akan percaya). Jika seseorang dapat membuktikan adanya Allah, maka ia mau percaya. Jika seseorang mengatakan, “coba buktikan Allah!”, maka bagaimana Allah bisa dibuktikan? Jika Allah bisa dibuktikan, berarti bukti itu bisa melingkupi dan menguasai Allah. Jika bukti bisa melingkupi dan menguasai Allah, maka Allah akan menjadi lebih kecil dari bukti, dan bukti akan menjadi lebih besar dan lebih tinggi kedudukannya dari Allah. 


Itu sebabnya, kalimat yang menyatakan “kalau tidak bisa membuktikan Allah, maka tidak mau percaya”, adalah suatu kekeliruan. 

Misalnya, suatu pagi saudara berjalan ditepi pantai, dan saudara heran mengapa di pagi buta tersebut sudah ada bekas telapak kaki yang berada di pantai. Lalu saudara menyimpulkan bahwa tanda jejak telapak kaki di pasir itu merupakan bukti bahwa sebelum saudara tiba di pantai, sudah ada orang yang berjalan terlebih dahulu di pantai mendahului saudara. Kemudian saudara membuat argumentasi berdasarkan bukti-bukti (evidensi) dari telapak kaki yang ada disitu. Namun, jika harus diargumentasikan, sebenarnya semuanya itu tidak memiliki arti sama sekali, sebab yang ada hanya “fenomena belaka”, dan bukan “barang bukti” itu sendiri. 

Tanda jejak kaki tidak sama dengan kaki. Maka, hal ini bukanlah bukti. Tapi fenomena saja. Tanda ini tidak sama dengan bukti. Tidak ada barang bukti yang ditinggalkan pada ilustrasi tadi. Tetapi jika misalnya lagi, saat saudara berjalan menelusuri jejak itu, lalu menemukan sepucuk pistol tergeletak di situ, maka pistol itu adalah “barang bukti”. Jadi, jejak kaki itu hanya menandakan bahwa tadi terdapat seseorang yang lewat, tetapi tidak bisa membuktikan apapun.

Di sini dapat dipahami juga bahwa bagaimanapun pengalaman-pengalaman setiap orang, adalah sesuatu yang terlalu kecil untuk menjadi suatu bukti. Maka sangat tidak mungkin jika meminta bukti dulu, baru percaya.

Keempat. Iman berdasarkan logika (jika masuk akal, saya akan percaya). Artinya, jika cukup logis, barulah orang dapat percaya. Satu hal yang penting di sini bahwa kepercayaan yang berdasarkan pengetahuan logis, akan sangat berbeda dengan pengetahuan logis yang berdasarkan pada kepercayaan. 

Dalam kitab II Timotius 1:12, Paulus berkata, “Aku tahu kepada siapa aku percaya”. Tentu saja implikasi ayat ini adalah percaya dulu baru mengerti dan mengetahui. Jadi pertanyaannya adalah, bukankah seseorang mau mengerti, setelah belajar dan mengerti baru ia percaya? Ataukah sebenarnya, ia percaya dulu baru bisa mengerti? 

Jelas di sini bagaimana kaitan antara iman dan pengetahuan logis begitu erat. Karena semakin seseorang beriman, maka semakin banyak ia akan mengetahui sesuatu dengan baik.

Makin banyak mengerti, maka makin kuat imannya. Kita dapat mengerti karena kita beriman, bukan karena kita mengerti maka kita beriman! Kita dapat mengerti karena kita memiliki iman. 

Alangkah hebatnya bila seseorang dapat percaya kepada Tuhan, tetapi alangkah bahagianya lagi jika ia dapat mengerti mengapa ia percaya. Hanya percaya tanpa mengerti, mengapa percaya? Ini akan mengakibatkan orang sedemikian tidak memiliki pegangan, dan tidak mempunyai hak untuk menyatakan imannya kepada orang lain. Tetapi dengan mengerti apa yang menyebabkan kita percaya, kita dapat dengan tegas dan teguh untuk membagi-bagikan iman kepada orang lain.

(
Oleh: Abdy Busthan)

Rujukan Buku: 
Busthan Abdy (2018). KRISTUS Versus tuhan-tuhan POSTMO (hal 57-61). Kupang: Desna Life Ministry
Share on Google Plus

Tentang Abdy Busthan

Abdy Busthan, S.Pd., M.Pd., M.Fil., adalah Dosen dan Teknolog Pembelajaran. Pembina dan Peneliti di Jurnal Ilmiah Flobamora Science. Dibesarkan di kota Nabire, Papua.Tempat tinggal di kota Kupang NTT. Lulus pendidikan S-1 dengan predikat lulusan terbaik dan tercepat (cumlaude), hanya dengan waktu 3 tahun, yaitu di FKIP IPTH Universitas Kristen Artha Wacana Kupang. Pendidikan S-2 pada Magister Teknologi Pendidikan, dengan mengambil konsentrasi ilmu Teknologi Pembelajaran dan Magister Filsafat.

0 komentar:

Post a Comment